Saturday, October 10, 2015

SEJARAH SOSIOLOGI


Saint-Simon (1760-1825)
Ia prihatin atas kondisi masyarakat akibat revolusi Perancis. Menurut Saint Simon  ...all the existing relations between the members of a nation became precarious, and anarchy...; (Society) in a state of extreme moral disorder, egoism is making terrible progress...” Dalam kondisi ini agama dan feudalisme kehilangan daya rekat sosialnya.  Menurut dia daya rekat sosial yang baru terletak dalam industri; industri adalah” “every kind of useful activity, theoretical as well as manual”. Baginya manusia adalah a productive animal. Di pembaringan menanti ajalnya, ia berkata: “The essence of my life’s work is to afford all members of society the greatest possible opportunity for the development of their faculties”. Dan tentang dia Durkheim berkomentar: a new conception of (the laws of social life) appeared...he was the first to offer the formula for it, to declare that societies are realities, original...and different from those which are to be found elsewhere in nature, but subject to the same determinism”.

Aguste Comte (1798-1857)
Comte dikenal sebagai pendiri ilmu sosiologi yang awalnya  Comte sebut fisika sosial, dan kemudian disebut sosiologi.  Menurut G. Simpson (dalam Origins and Growth of Sociological Theory), sumbangan Comte yang utama: 
  1. Meletakkan dasar keilmuan sosiologi yaitu positifisme.
  2. Membuat klasifikasi ilmu-ilmu dan perkembangannya yang saling bergantung satu kepada yang lain.
  3. Hukum Evolusi Tiga Tahap  (theologi, metaphysica, positivism).
  4. Sosiologi Ilmu Pengetahuan.
  5. Sosiologi Pengetahuan.
  6. Organisme sosial, sistem sosial,  struktur sosial, dan dinamika sosial.
  7. Sosiologi sebagai studi perbandingan sejarah.
  8. Psikologi dan Sosiologi.
  9. Metode penelitian sosiologis: observasi, eksperimen, perbandingan.
  10. Agama Kemanusiaan.
Comte menggunakan organisme sebagai gambaran untuk menjelaskan  masyarakat yang dibentuk oleh bagian-bagiannya yang fungsional dan saling berhubungan.
Menurut Comte sosiologi adalah studi yang bersifat dinamis dalam arti temuannya akan mengubah kondisi manusia di dalam masyarakat dan studi tentang bagaimana perubahan sosial yang diperlukan itu berlangsung dalam hubungan  dengan struktur dan fungsi sosial yang sudah tidak berdaya dan karena itu  harus diatur dan disusun kembali.

Karl Marx (1818-1883)
Masyarakat industri-kapitalis dan kerja sebagai wujud hakekat manusia menjadi fokus kajian Marx. Bagi Marx ekonomi menjadi faktor utama penyebab perubahan sosial.  ...the social history of men is never anything but the history of their individual development...their material relations are the basis of all their relations”, demikian tulis Marx dalam Society and Economy in History. Dengan menggunakan teori dialektika Hegel dipadu dengan materialisme Feuerbach, dibentuklah teori evolusi dialektis sosial dari masyarakat berkelas sosial (adanya eksploitasi dan alienasi) ke masyarakat tanpa kelas sosial (bebas eksploitasi dan alienasi).

Bagi Marx tidak mungkin mengambil sikap tidak berpihak dalam menganalisis masyarakat kapitalis. Nilai-nilai personal dari orang yang menganalisis secara perlu tidak bisa dipisahkan dari studi terhadap fakta-fakta sosial.
Kesadaran manusia adalah produk sosial. Sejak awalnya kesadaran tidak pernah “bersih” karena kita sadar dalam bahasa dan mengkomunikasikannya dalam bahasa. Bahkan kesadaran kita tentang sesuatu dapat berbeda dengan sesuatu itu senyatanya.

Emile Durkheim (1858-1917)
Dua tema utama sosiologi Durkheim, ialah: pengutamaan masyarakat daripada individu dan ide bahwa sosiologi dapat dipelajari secara ilmiah sebagaimana tuntutan positifisme-empirisme.
Menurut Durkheim adanya tatanan sosial karena adanya daya rekat sosial (solidaritas sosial). Secara ilmiah, obyek studi sosiologi dapat diobserfasi sebagaimana ilmu kealaman. Obyek obserfasi sosiologi oleh Durkheim disebut fakta-fakta sosial yang terdiri atas dua jenis, yaitu material dan non material.  Yang paling penting bagi Durkheim ialah fakta sosial non material yang meliputi, antara lain: moralitas, kesadaran kolektif, dan representasi kolektif.
Fakta sosial harus diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang ada secara nyata di luar individu dan tidak bergantung pada media konseptual  pengamat.

Georg Simmel (1858-1918)
Simmel adalah teman sekerja Weber. Perhatian Simmel ditujukan pada bentuk dan aktor dalam relasi-interaksi individu di dalam kelompok sosialnya (asosiasi). Sejalan dengan itu, masyarakat hanyalah nama bagi sejumlah individu yang dihubungkan oleh interaksi. Namun demikian, masyarakat melampaui individu dan menjalani hidupnya sendiri  dengan hukumnya sendiri pula. Tuntutan masyarakat bersifat imperatif terhadap individu.
Ada tiga wilayah masalah sosiologi: (1) sosiologi murni menyangkut bentuk relasi-interaksi dan tipe orang yang terlibat di dalamnya, (2) sosiologi umum yang membahas produk sosial dan kultural sejarah manusia, (3) sosiologi filosofis, yang intinya ialah pemisahan antara orang dengan produknya terdapat dalam hakikat kehidupan manusia itu sendiri, terdapat kontradiksi inheren dan tak terelakkan antara daya cipta kehidupan dan hasil kreasi kehidupan.
Ia menggunakan pendekatan dialektis untuk menjelaskan perkembangan relasi-interaksi individu di dalam kelompoknya. Selain itu, ia menggunakan geometri (jumlah dan jarak) untuk menjelaskan kualitas relasi-interaksi itu (dyad dan triad).


Max Weber (1864-1920)
Weber menghadapi berbagai kondisi sosial, konflik kelas sosial, pemerintahan yang kursif, industri dan ekonomi yang mendominasi kehidupan masyarakat, di samping itu Weber tertarik pula pada persoalan spiritual yang ikut mendorong perilaku seseorang. Hal-hal ini yang mendorong Weber mengadakan studi sejarah peradaban berbagai masyarakat dan studi terhadap berbagai agama sebagai sumber data untuk mengembangkan pengetahuan sosiologi.
“...there takes place a phenomenon of incomparable significance: the replacement of personal relationships of dominance by the impersonal dominance of class...The ethical order of religious bonds can no longer have any effect, for the “personal relationship of responsibility” has disappeared. What has replaced it is the “objective hatred” of one class for another”.
Demikian ungkap Weber dalam tulisannya (dalam Jeffrey C. Alexander, 1983)
Sosiologi menurut Weber adalah ilmu pengetahuan yang berusaha memahami atau mengerti (verstehen) tindakan sosial melalui interpretasi untuk tiba pada penjelasan tentang penyebab dan akibatnya.
Bagi Weber verstehen adalah metode yang cocok untuk memperoleh pengetahuan keilmuan dalam sosiologi.
Dalam penelitiannya, Weber menemukan bahwa rasionalisasi dan Protestantisme-Calvinis menjadi penyebab utama lahirnya masyarat kapitalisme.

DARI EROPA KE AMERIKA SERIKAT
Latar Belakang
-          Para sosiolog awal AS menganut politik Liberal dengan dua elemen: (1) Keyakinan akan kebebasan dan kemakmuran individu. (2) Evolusi sosial.
-          Urbanisasi dan industrialisasi yang sedang berkembang di AS.
-          Pengaruh teori sosiologi Eropa.
-          Sesudah PD II, yang menjadi pertanyaan utama para ilmuan AS, adalah: Ilmu Pengetahuan untuk apa?
-          Pengaruh pendekatan positifisme (epistemologi).
-          Pengaruh Filsafat Pragmatisme dan Utilitarianisme.
Oleh karena  banyak sosiolog dan aliran sosiologi yang berkembang  di AS (fungsionalisme struktural, neo fungsionalism, konflik, interaksi simbolisme, femenisme, jaringan sosial, pilihan rasional, neo positifisme, neo Marxian) maka saya memilih tiga sosiolog yang sangat berpengaruh, yaitu Talcot Parsons (fungsionalisme struktural),  George Herbert Mead (interaksionisme simbolis), Ralf Dahrendorf (konflik)

Talcot Parsons (1902-1978)
Secara umum perhatian utama   fungsionalisme struktural ialah struktur sosial skala besar dan institusi masyarakat dalam kesaling-terkaitannya dan efek hambatannya terhadap aktor.
Bagi Parsons, masyarakat adalah keutuhan yang sistemik-fungsional. Fokus utama teorinya adalah: struktur tindakan sosial. Ia mendefinisikan sistem sosial sbb.: “Sistem sosial terdiri dari beragam aktor individual yang berinteraksi satu sama lain dalam situasi yang setidaknya memiliki aspek fisik atau lingkungan, aktor yang cenderung termotivasi ke arah “optimalisasi kepuasan” dan yang hubungannya dengan situasi mereka, termasuk hubungan satu sama lain,  didefinisikan dan diperantarai dalam bentuk sistem simbol yang terstruktur secara kultural  dan yag dimiliki bersama”.
Definisi ini memuat konsep-konsep utama sistem sosial Parsons: aktor, interaksi, lingkungan, optimalisasi kepuasan, dan kebudayaan.
Parsons menempatkan status-peran sebagai unit terdasar dari sistem sosial. Status merujuk pada posisi struktural dalam sistem sosial; peran adalah apa yang dilakukan aktor dalam suatu posisi, yang dilihat signifikansi fungsionalnya bagi sistem yang lebih besar. Parsons membedakan empat subsistem dalam masyarakat: ekonomi (kerja, produksi, alokasi), politik  (mobilisasi aktor dan sumber daya untuk mencapai tujuan), pengasuhan (internalisasi budaya), komunitas (integrasi sosial).

George Herbert Mead (1863=1931)
Prinsip-prinsip  umum interaksionisme simbolis:  manusia adalah makhluk yang memiliki daya pikir. Daya pikir dikembangkan dalam interaksi sosial. Dalam interaksi sosial orang mempelajari makna dan simbol yang memungkinkannya menggunakan daya pikirnya. Makna dan simbol memungkinkan orang melakukan tindakan dan interaksi khas manusia dan orang mampu memodifikasi makna dan simbol sesuai kebutuhan interaksinya.
Masyarakat menurut Mead adalah proses sosial terus-menerus, yang mendahului pikiran dan diri. Individu membawa serta masyarakat, memberinya kemampuan, melalui kritik diri, untuk mengontrol diri sendiri.
Pendidikan adalah proses internalisasi kebiasaan umum komunitas (institusi) pada diri aktor.
Proses internalisasi ini tidak boleh menindas daya kreatif individu. Institusi  mengekang dan sekaligus mendorong individu menjadi individu kreatif.

Ralf Dahrendorf (1929-2009)
Para teoretisi konflik beorientasi pada pembahasan struktur dan institusi sosial. Bagi para teoretisi fungsionalisme struktural, masyarakat dipahami sebagai sesuatu yang statis atau paling-paling keseimbangan yang dinamis, dan keteraturan. Bagi Dahrendorf dan para teoretisi konflik melihat pertentangan dan konflik dalam setiap sistem sosial; banyak elemen masyarakat yang justru berperan dalam lahirnya disintegrasi dan perubahan sosial.
Menurut Dahrendorf setiap masyarakat memiliki dua wajah (konflik dan konsensus), karena itu teori sosiologi harus dibagi ke dalam dua bagian, teori konflik dan teori konsensus.
Dahredorf memusatkan perhatiannya pada struktur sosial skala besar. Dan menurut dia berbagai posisi dalam masyarakat memiliki otoritas yang berlainan. Otoritas tidak bersifat konstan karena melekat pada posisi bukan pada orang. Setiap asosiasi mempunyai dua kelompok, superordinat dan subordinat, yang memiliki kepentingan bersama. Yang berada pada superordinat berusaha mempertahankan status quo sementara subordinat berusaha melakukan perubahan. Konflik kepentingan dalam asosiasi apapun bersifat latent yang sekaligus berarti legitimasi otoritas selalu berada pada posisi rawan.
Perkembangan umum sosiologi selanjutnya pada pertengahan abad ke 20 dan awal abad ke 21 dicirikan oleh perhatian terhadap pendekatan integratif (makro-mikro, agensi-struktur) dan perbedaan pandangan tentang masyarakat kontemporer, apakah masih disebut masyarakat modern atau masyarakat  post-modern. Saya memilih dua sosiolog (seorang dari Jerman dan seorang dari AS) untuk ditampilkan pada masa ini.  

Jurgen Habermas (1929-  )
Yang menjadi pokok utama perhatian Habermas ialah tindakan komunikatif. Tindakan komunikatif ialah tindakan komunikasi antar para aktor secara rasional dan bebas tekanan dari luar. Habermas membedakan dua jenis tindakan dalam masyarakat: tindakan rasional bertujuan (kerja) dan tindakan komunikatif (interaksi). Berbeda dengan Marx, Habermas sangat tertarik pada tindakan komunikatif. Tindakan rasional bertujuan dibedakan atas tindakan intrumental (melibatkan aktor tunggal) dan tindakan strategis (melibatkan lebih dari satu aktor yang berkoordinasi) Tindakan komunikatif tidak didasarkan pada kalkulasi egosentris kesuksesan, tetapi  pada pencapaian pemahaman bersama yang memungkinkan mereka dapat mengharmoniskan rencana bertindak mereka berdasarkan definisi situasi bersama.
Habermas membagi dunia kehidupan sosial atas dua komponen: sistem (representasi perspektif eksternal) dan dunia kehidupan (representasi sudut pandang internal – aktor dalam masyarakat).
Sistem berakar pada dunia-kehidupan dan dalam perkembangannya melahirkan strukturnya sendiri, meliputi keluarga, sistem peradilan, negara, dan ekonomi.  Struktur-struktur ini berevolusi mencapai kemandirian dalam kekuasaan, akan semakin mampu mengendalikan dunia-kehidupan. Tetapi pada saat yang sama mereka semakin jauh dari dunia-kehidupan. Dalam kondisi sedemikian, justru tindakan komunikatif tidak semakin mengarah pada tercapainya konsensus. Komunikasi semakin rigid, miskin, dan terfragmentasi. Dunia-kehidupan menghadapi bahaya kehancuran.  Kondisi ini adalah akibat sistem yang “menjauh” dari dunia-kehidupan justru mengolonisasi  dunia-kehidupan. Dalam masyarakat modern ada dua kekuatan  dalam proses kolonisasi ini: uang dan kekuasaan. Hidup aktor semakin termoneterisasi dan terbirokratisasi.  Untuk mengatasi masalah ini, Habermas mengusulkan agar dunia-kehidupan dan sistem dipisahkan, dan dibangun relasi dialektis antara dunia-kehidupan dan sistem agar keduanya secara dinamis saling memperkaya.
Habermas melihat dunia modernitas sebagai “proyek yang belum selesai”. Dalam dunia modernitas rasionalitas sistem (kompleks, terdiferensiasi, terintegrasi, rasio instrumental) berbeda dan bertentangan dengan rasionalitas yang menjadi ciri dunia-kehidupan.  Akibatnya meskipun kita kaya dengan hasil-hasil rasionalisasi sistem, kita tengah miskin akan kekayaan hidup yang berasal dari dunia-kehidupan.
Habermas menentang kaum postmodernis dengan berpendapat, antara lain: kalangan postmodernis ragu apakah mereka akan menghasilkan teori serius atau sastera, postmodernis digerakkan oleh sentimen-sentimen normatif namun sentimen-sentimen itu disembunyikan dari pembaca.

Anthony Giddens (1938- )
Giddens terkenal dengan teori strukturasinya dalam upaya mengintegrasikan agensi dengan struktur. Menurut Giddens ranah dasar studi ilmu-ilmu sosial bukanlah pengalaman aktor individu, ataupun eksistensi bentuk totalitas apa pun, melainkan praktik yang ditata di sepanjang ruang dan waktu.
Jadi, inti dari teori strukturasi Giddens berfokus pada praktik sosial.
Agensi dan struktur adalah dualitas, tak terpisahkan. Semua tindakan sosial melibatkan struktur, dan semua struktur melibatkan tindakan sosial.
Ketika mengekspresikan dirinya sebagai aktor, orang melakukan praktik, dan melalui praktik inilah kesadaran (reflektif) dan struktur dihasilkan.
Giddens berbicara tentang agensi-struktur secara historis, prosesual, dan dinamis.
Terbentuknya aktor (agen) dan struktur tidak terlepas satu sama lain. Struktur adalah media dan hasil tindakan aktor dan struktur tersebut secara rekursif mengorganisasi tindakan aktor.
Bukan hanya aktor sosial saja yang bersifat reflektif, peneliti sosial yang mekakukan kajian atasnya pun demikian pula (hermeneutika ganda).
Aktor, secara sadar-reflektif, terlibat dalam pencarian rasa aman, untuk itu aktor merasionalisasikan dunianya, agar tujuan tindakan tercapai secara efisien.
Giddens membedakan antara kesadaran diskursif (penjabaran tindakan dalam kata-kata) dan kesadaran praktis (tindakan diterima  begitu saja oleh aktor tanpa mengekspresikan apa yang dilakukan lewat kata-kata). Tipe kedua ini berfokus pada apa yang dilakukan bukan pada apa yang dikatakan.
Kemampuan untuk mengadakan perubahan berada di tangan aktor, karena itu aktor harus memiliki kekuasaan yang memungkinnya menciptakan perbedaan.
Struktur sosial bisa menghambat, tapi jangan dilebih-lebihkan, karena bagi Giddens, struktur selalu menghambat dan mendorong.
Bagi Giddens, masyarakat modern belum memasuki post-modern. Ia mendefinisikan modernitas berdasarkan empat institusi dasar: Kapitalisme, industrialisme, kapasitas pengawasan, kontrol atas sarana kekerasan.
Kedinamisan modernitas dikenali lewat tiga aspek terpenting: penjarakan (ruang terpisah dari waktu, keterkaitan ruang dan waktu terputus), keterlepasan (“diangkatnya” relasi sosial dari konteks interaksi lokal ke aras global), reflektifitas.
Bagi Giddens dunia modern (modernitas adalah kebudayaan berisiko) sedang bergerak menuju dunia yang akan menghadapi pertanyaan-pertanyaan moral  (sosial dan indifidual). Karena itu dunia setelah modernitas ditandai dengan remoralisasi.
Giddens menolak gagasan teoretisi post-modernisme tentang kemustahilan suatu pengetahuan yang sistematis; pandangan ini akan menyebabkan kita menolak seluruh aktifitas intelektual.

Teori Sosial Postmodernitas dan Post-postmodernitas
Salah seorang tokoh postmodernis, Fredric Jameson menggambarkan ciri dunia postmodernitas, sbb.: dangkal dan superfisial, miskin perasaan dan emosi, manusia kehilangan tempat dalam sejarah (sulit membedakan masa lalu, masa kini, masa depan), dominasi teknologi yang implosif.
Masyarakat postmodern dengan ciri di atas memerlukan cara berpikir yang berbeda dengan masyarakat modern. Kaum postmodernisme menolak: narasi besar, pembatasan disiplin, mencari isu-isu pinggiran ketimbang masalah inti masyarakat.
Kritik terhadap teori postmodernisme:
1)      Gagal memenuhi standar ilmiah modern.
2)      Pengetahuan yang dihasilkan postmodernisme tidak dapat dipandang  sebagai pengetahuan keilmuan, tetapi lebih merupakan idelogi.
3)      Postmodernisme tidak mengakui adanya norma keilmuan, mereka bebas melakukan apa yang mereka sukai, bermain-main dengan berbagai gagasan. Generalisasi ditawarkan tanpa penilaian.
4)      Gagasan postmodern seringkali begitu kabur dan abstrak sehingga sulit mengaitkannya dengan dunia sosial.
5)      Ditengah-tengah mereka mengkritik narasi besar teoritisi modern, para teoritisi postmo justru menawarkan jenis narasi mereka sendiri.
6)      Dalam analisis mereka, para teoritisi sosial postmodern seringkali menawarkan kritik atas masyarakat modern, namun kritik mereka sulit diterima karena tidak memiliki basis normatif. Apalagi mereka tidak memiliki gambaran tentang masyarakat yang ideal.
7)      Meskipun para teoritisi sosial postmodern berpegang teguh pada apa yang mereka pandang sebagai isu-isu sosial utama, namun seringkali mereka berakhir dengan pengabaian  atas hal-hal dipandang banyak orang sebagai masalah utama sosial masa kininya.
( Lihat, Ritzer dan Goodman, 683,684).
Muncul teori sosial post-postmodern yang mengoreksi kelemahan teori sosial postmodern yang dipandang mengabaikan subyek manusia dan dipandang anti humanisme. Aliran post-postmodern membela norma-norma universal dan rasional dalam moral dan politik serta hak asasi manusia.
Share:

0 comments:

Post a Comment

About