Istilah Ilmu Sosial mencakup banyak disiplin ilmu, karena itu disebut Ilmu-Ilmu Sosial. Istilah social science muncul 1824 dalam buku An Inquiry into the Principles of the
Distribution of Wealth Most Conducive to Human Equality of Wealth oleh
William Thompson (1775-1833) Yang menjadi obyek studi Ilmu-Ilmu
Sosial ialah manusia dalam interaksinya di dalam masyarakat, manusia dalam
kebudayaannya, manusia dalam lingkungan hidupnya.
Obyek Studi Ilmu-Ilmu Sosial telah menjadi
bahasan para pemikir jauh sebelum adanya
Ilmu-Ilmu Sosial mencapai kedudukan otonominya dalam dunia keilmuan pada abad
18 dan 19. Pada zaman Yunani Klasik, dalam
tulisan Stoaisme, antara lain Panaetius
membangun teori keadilan sosialnya berdasarkan keteraturan kosmos, Plato
(427-347 SZB), bukunya The Republic), dan Aristoteles (384-322
SZB) bukunya Nicomachean Ethics.
Pada zaman Scholastik, Agustinus (354-430), bukunya The City of God.
Pada Abad Pertengahan, Abelardus,
Erigena, St Anselmus, dan John dari Salisbury menulis beberapa komentar tentang
analisis ekonomi; Thomas Aquinas (abad 13) menulis tentang: sosiologi politik, ekonomi. Di samping itu, dalam peradaban Islam, tampil
Al-Biruni (973-1048) yang mengadakan studi
perbandingan tentang manusia, agama, dan
budaya di Timur Dekat, Timur Tengah, dan Afrika
Ibn Khaldun (1332-1406) menulis
tentang demografi, historiografi,
filsafat sejarah, sosiologi, dan ekonomi.
Pada zaman Modern Awal Pada abad
14, Buridanus dan Oresmius menulis tentang uang;
Pada abad 15 St Atonine dari Florence menulis tentang proses ekonomi; Abad 16 Leonard de Leys, Juan de Lego, dan Luis
Molina menulis berbagai topik tentang ekonomi
dalam hubungan dengan fungsi kekayaan
untuk kepentingan publik; Abad 17 tampil, antara lain, Thomas Hobbes
dan John Locke yang menulis tentang masyarakat dan penguasa.
Pada abad ke 18 Ilmu sosial
disebut filsafat moral (dipertentangkan dengan filsafat kealaman dan
matematika) dan seorang guru besarnya ialah Adam Smith; Tokoh terkemuka antara
lain: Rousseau, William Godwin, dan Giambattista Vico.
Pada
abad ke awal 18, semua ilmu pengetahuan menggunakan penalaran deduktif sebagai
satu-satunya metodologi yang layak untuk menghasilkan pengetahuan keilmuan.
Akan tetapi dalam abad ini pula terjadi perubahan yang menentukan perkembangan
metodologi keilmuan selanjutnya, khususnya dengan muncul teori Isaac Newton di
bidang fisika. Menurut Newton dalam
proses membangun teori keilmuan, kita mulai dengan pengamatan terhadap obyek.
Dari hasil pengamatan kita membangun kesimpulan berupa hipotetis, lalu secara
deduktif kita menguji hipotese pada pengamatan terhadap obyek yang sejenis yang
lain, bila hasil pengamatan masih tetap sama, maka kita bangun teori. Newton berpendapat
bahwa logika matematika merupakan metode berpikir yang sesungguhnya,
kepastiannya terjamin bila dibandingkan hasil penginderaan kita. “He regards the mathematical mode of thought
...as true method of thought...”. (Harald Hoffding, a history of modern philosophy, 411). Selanjutnya, Disiplin keilmuan pada umumnya
mendapat “tekanan” untuk mengekspresikan
ide-ide mereka dalam bentuk relasi-relasi matematis (hukum-hukum matematika)
Aguste Comte (1797-1857)
memunculkan pandangan bahwa idea-idea melewati tiga fase: Theological (assumption), Philosophical(critical
thinking), dan Scientific (positive
observation). Menurut Comte, positifisme menekankan sisi faktual dan bukan
spekulatif, manfaat dan bukan kesia-sian, kepastian dan bukan keragu-raguan,
ketepatan bukan kekaburan, positif bukan negatif maupun kritis.
Selanjutnya kita tidak menelusuri
sejarah setiap disiplin ilmu pengetahuan dalam rumpun ilmu-ilmu sosial, kecuali
sosiologi. Namun perlu dicatat bahwa semua disiplin ilmu dalam rumpun ilmu-ilmu
sosial (sejarah, ekonomi, sosiologi, politik, geografi, psikologi, antropologi)
mencapai otonomi keilmuannya secara akademis pada abad ke 19.
Akselarasi perkembangan ilmu
pengetahuan dan otonomi berbagai disiplin ilmu, akibat gerakan fajar budi (Enlightenment) yang terjadi pada abad ke
18. “Embrio”nya telah dimulai pada pada
abad ke 14 (Renaissance). “The epoch of the Enlightenment, the
eighteenth century, represents the end of the metaphysical speculation of the
eighteenth century” (Juan Marias, 1967). Selain itu didorong pula Revolusi
Industri dan Revolusi Perancis.
Menurut Ritzer dan Goodman kondisi
sosial yang mendorong berkembangnya sosiologi, abad 19 dan awal abad
20, adalah:
Revolusi Politik (Perancis, 1789), Revolusi
Industri, Kelahiran Sosialisme, Feminisme, Urbanisasi, Perubahan di wilayah
Agama, Tumbuhnya Ilmu Pengetahuan.
Sementara di bidang Intelektual:
Pencerahan dan Reaksi kaum Konserfatif terhadap Pencerahan.
0 comments:
Post a Comment