Saturday, October 10, 2015

SEJARAH ILMU-ILMU SOSIAL


Istilah Ilmu Sosial mencakup banyak disiplin ilmu, karena itu disebut Ilmu-Ilmu Sosial. Istilah social science muncul 1824 dalam buku An Inquiry into the Principles of the Distribution of Wealth Most Conducive to Human Equality of Wealth oleh William Thompson (1775-1833) Yang menjadi obyek studi Ilmu-Ilmu Sosial ialah manusia dalam interaksinya di dalam masyarakat, manusia dalam kebudayaannya, manusia dalam lingkungan hidupnya.
Obyek Studi Ilmu-Ilmu Sosial telah menjadi bahasan  para pemikir jauh sebelum adanya Ilmu-Ilmu Sosial mencapai kedudukan otonominya dalam dunia keilmuan pada abad 18 dan 19. Pada zaman Yunani Klasik, dalam tulisan  Stoaisme, antara lain Panaetius membangun teori keadilan sosialnya berdasarkan keteraturan kosmos, Plato (427-347 SZB), bukunya  The Republic), dan Aristoteles (384-322 SZB) bukunya Nicomachean Ethics.

Pada zaman Scholastik, Agustinus (354-430), bukunya The City of God.
Pada Abad Pertengahan, Abelardus, Erigena, St Anselmus, dan John dari Salisbury menulis beberapa komentar tentang analisis ekonomi; Thomas Aquinas  (abad 13) menulis tentang: sosiologi politik, ekonomi. Di samping itu, dalam peradaban Islam, tampil Al-Biruni (973-1048) yang mengadakan studi perbandingan  tentang manusia, agama, dan budaya di Timur Dekat, Timur Tengah, dan Afrika
Ibn Khaldun (1332-1406) menulis tentang demografi, historiografi, filsafat sejarah, sosiologi, dan ekonomi.


Pada zaman Modern Awal Pada abad 14, Buridanus dan Oresmius menulis tentang uang; Pada abad 15 St Atonine dari Florence menulis tentang proses ekonomi; Abad 16 Leonard de Leys, Juan de Lego, dan Luis Molina menulis berbagai topik tentang ekonomi dalam hubungan dengan fungsi kekayaan  untuk kepentingan publik; Abad 17 tampil, antara lain, Thomas Hobbes dan John Locke yang menulis tentang masyarakat dan penguasa.

Pada abad ke 18 Ilmu sosial disebut filsafat moral (dipertentangkan dengan filsafat kealaman dan matematika) dan seorang guru besarnya ialah Adam Smith; Tokoh terkemuka antara lain: Rousseau, William Godwin, dan Giambattista Vico.

Pada abad ke awal 18, semua ilmu pengetahuan menggunakan penalaran deduktif sebagai satu-satunya metodologi yang layak untuk menghasilkan pengetahuan keilmuan. Akan tetapi dalam abad ini pula terjadi perubahan yang menentukan perkembangan metodologi keilmuan selanjutnya, khususnya dengan muncul teori Isaac Newton di bidang fisika.  Menurut Newton dalam proses membangun teori keilmuan, kita mulai dengan pengamatan terhadap obyek. Dari hasil pengamatan kita membangun kesimpulan berupa hipotetis, lalu secara deduktif kita menguji hipotese pada pengamatan terhadap obyek yang sejenis yang lain, bila hasil pengamatan masih tetap sama, maka kita bangun teori. Newton berpendapat bahwa logika matematika merupakan metode berpikir yang sesungguhnya, kepastiannya terjamin bila dibandingkan hasil penginderaan kita. “He regards the mathematical mode of thought ...as true method of thought...”. (Harald Hoffding, a history of modern philosophy, 411).  Selanjutnya, Disiplin keilmuan pada umumnya mendapat “tekanan”  untuk mengekspresikan ide-ide mereka dalam bentuk relasi-relasi matematis (hukum-hukum matematika)

Aguste Comte (1797-1857) memunculkan pandangan bahwa idea-idea melewati tiga fase: Theological (assumption), Philosophical(critical thinking), dan Scientific (positive observation). Menurut Comte, positifisme menekankan sisi faktual dan bukan spekulatif, manfaat dan bukan kesia-sian, kepastian dan bukan keragu-raguan, ketepatan bukan kekaburan, positif bukan negatif maupun kritis.

Selanjutnya kita tidak menelusuri sejarah setiap disiplin ilmu pengetahuan dalam rumpun ilmu-ilmu sosial, kecuali sosiologi. Namun perlu dicatat bahwa semua disiplin ilmu dalam rumpun ilmu-ilmu sosial (sejarah, ekonomi, sosiologi, politik, geografi, psikologi, antropologi) mencapai otonomi keilmuannya secara akademis pada abad ke 19.

Akselarasi perkembangan ilmu pengetahuan dan otonomi berbagai disiplin ilmu, akibat gerakan fajar budi (Enlightenment) yang terjadi pada abad ke 18.   “Embrio”nya telah dimulai pada pada abad ke 14 (Renaissance). “The epoch of the Enlightenment, the eighteenth century, represents the end of the metaphysical speculation of the eighteenth century” (Juan Marias, 1967). Selain itu didorong pula Revolusi Industri dan Revolusi Perancis.
Menurut Ritzer dan Goodman kondisi sosial  yang mendorong  berkembangnya sosiologi, abad 19 dan awal abad 20, adalah:
Revolusi Politik (Perancis, 1789), Revolusi Industri, Kelahiran Sosialisme, Feminisme, Urbanisasi, Perubahan di wilayah Agama, Tumbuhnya Ilmu Pengetahuan.
Sementara di bidang Intelektual: Pencerahan dan Reaksi kaum Konserfatif terhadap Pencerahan.
Share:

0 comments:

Post a Comment

About