Saint-Simon (1760-1825)
Ia prihatin atas kondisi masyarakat
akibat revolusi Perancis. Menurut Saint Simon
“...all the existing relations
between the members of a nation became precarious, and anarchy...; (Society) in
a state of extreme moral disorder, egoism is making terrible progress...”
Dalam kondisi ini agama dan feudalisme kehilangan daya rekat sosialnya. Menurut dia daya rekat sosial yang baru
terletak dalam industri; industri adalah” “every
kind of useful activity, theoretical as well as manual”. Baginya manusia
adalah a productive animal. Di
pembaringan menanti ajalnya, ia berkata: “The
essence of my life’s work is to afford all members of society the greatest possible
opportunity for the development of their faculties”. Dan tentang dia
Durkheim berkomentar: “a new conception of (the laws of social
life) appeared...he was the first to offer the formula for it, to declare that
societies are realities, original...and different from those which are to be
found elsewhere in nature, but subject to the same determinism”.
Aguste Comte (1798-1857)
Comte dikenal sebagai pendiri ilmu
sosiologi yang awalnya Comte sebut
fisika sosial, dan kemudian disebut sosiologi.
Menurut G. Simpson (dalam Origins
and Growth of Sociological Theory), sumbangan Comte yang utama:
- Meletakkan
dasar keilmuan sosiologi yaitu positifisme.
- Membuat klasifikasi ilmu-ilmu dan perkembangannya yang saling
bergantung satu kepada yang lain.
- Hukum Evolusi Tiga Tahap (theologi,
metaphysica, positivism).
- Sosiologi Ilmu Pengetahuan.
- Sosiologi Pengetahuan.
- Organisme sosial, sistem sosial, struktur sosial, dan dinamika sosial.
- Sosiologi sebagai studi perbandingan sejarah.
- Psikologi dan Sosiologi.
- Metode penelitian sosiologis:
observasi, eksperimen, perbandingan.
- Agama Kemanusiaan.
Comte menggunakan organisme sebagai
gambaran untuk menjelaskan masyarakat
yang dibentuk oleh bagian-bagiannya yang fungsional dan saling berhubungan.
Menurut Comte sosiologi adalah
studi yang bersifat dinamis dalam arti temuannya akan mengubah kondisi manusia
di dalam masyarakat dan studi tentang bagaimana perubahan sosial yang
diperlukan itu berlangsung dalam hubungan
dengan struktur dan fungsi sosial yang sudah tidak berdaya dan karena
itu harus diatur dan disusun kembali.
Karl Marx (1818-1883)
Masyarakat industri-kapitalis dan
kerja sebagai wujud hakekat manusia menjadi fokus kajian Marx. Bagi Marx
ekonomi menjadi faktor utama penyebab perubahan sosial. “...the
social history of men is never anything but the history of their individual development...their
material relations are the basis of all their relations”, demikian tulis
Marx dalam Society and Economy in History. Dengan menggunakan teori dialektika
Hegel dipadu dengan materialisme Feuerbach, dibentuklah teori evolusi dialektis
sosial dari masyarakat berkelas sosial (adanya eksploitasi dan alienasi) ke
masyarakat tanpa kelas sosial (bebas eksploitasi dan alienasi).
Bagi Marx tidak mungkin mengambil
sikap tidak berpihak dalam menganalisis masyarakat kapitalis. Nilai-nilai
personal dari orang yang menganalisis secara perlu tidak bisa dipisahkan dari
studi terhadap fakta-fakta sosial.
Kesadaran manusia adalah produk
sosial. Sejak awalnya kesadaran tidak pernah “bersih” karena kita sadar dalam
bahasa dan mengkomunikasikannya dalam bahasa. Bahkan kesadaran kita tentang
sesuatu dapat berbeda dengan sesuatu itu senyatanya.
Emile Durkheim (1858-1917)
Dua tema utama sosiologi Durkheim,
ialah: pengutamaan masyarakat daripada individu dan ide bahwa sosiologi dapat
dipelajari secara ilmiah sebagaimana tuntutan positifisme-empirisme.
Menurut Durkheim adanya tatanan
sosial karena adanya daya rekat sosial (solidaritas sosial). Secara ilmiah,
obyek studi sosiologi dapat diobserfasi sebagaimana ilmu kealaman. Obyek
obserfasi sosiologi oleh Durkheim disebut fakta-fakta sosial yang terdiri atas
dua jenis, yaitu material dan non material. Yang paling penting bagi Durkheim ialah fakta
sosial non material yang meliputi, antara lain: moralitas, kesadaran kolektif,
dan representasi kolektif.
Fakta sosial harus diteliti dan
dipelajari sebagai sesuatu yang ada secara nyata di luar individu dan tidak
bergantung pada media konseptual
pengamat.
Georg Simmel (1858-1918)
Simmel adalah teman sekerja Weber.
Perhatian Simmel ditujukan pada bentuk dan aktor dalam relasi-interaksi
individu di dalam kelompok sosialnya (asosiasi). Sejalan dengan itu, masyarakat
hanyalah nama bagi sejumlah individu yang dihubungkan oleh interaksi. Namun
demikian, masyarakat melampaui individu dan menjalani hidupnya sendiri dengan hukumnya sendiri pula. Tuntutan
masyarakat bersifat imperatif terhadap individu.
Ada tiga wilayah masalah sosiologi:
(1) sosiologi murni menyangkut bentuk relasi-interaksi dan tipe orang yang
terlibat di dalamnya, (2) sosiologi umum yang membahas produk sosial dan
kultural sejarah manusia, (3) sosiologi filosofis, yang intinya ialah pemisahan
antara orang dengan produknya terdapat dalam hakikat kehidupan manusia itu
sendiri, terdapat kontradiksi inheren dan tak terelakkan antara daya cipta
kehidupan dan hasil kreasi kehidupan.
Ia menggunakan pendekatan dialektis
untuk menjelaskan perkembangan relasi-interaksi individu di dalam kelompoknya.
Selain itu, ia menggunakan geometri (jumlah dan jarak) untuk menjelaskan
kualitas relasi-interaksi itu (dyad dan
triad).
Max Weber (1864-1920)
Weber menghadapi berbagai kondisi
sosial, konflik kelas sosial, pemerintahan yang kursif, industri dan ekonomi
yang mendominasi kehidupan masyarakat, di samping itu Weber tertarik pula pada
persoalan spiritual yang ikut mendorong perilaku seseorang. Hal-hal ini yang
mendorong Weber mengadakan studi sejarah peradaban berbagai masyarakat dan studi
terhadap berbagai agama sebagai sumber data untuk mengembangkan pengetahuan
sosiologi.
“...there takes place a phenomenon of incomparable significance: the
replacement of personal relationships of dominance by the impersonal dominance
of class...The ethical order of religious bonds can no longer have any effect,
for the “personal relationship of responsibility” has disappeared. What has
replaced it is the “objective hatred” of one class for another”.
Demikian ungkap Weber dalam
tulisannya (dalam Jeffrey C. Alexander, 1983)
Sosiologi menurut Weber adalah ilmu
pengetahuan yang berusaha memahami atau mengerti (verstehen) tindakan sosial melalui interpretasi untuk tiba pada
penjelasan tentang penyebab dan akibatnya.
Bagi Weber verstehen adalah metode yang cocok untuk memperoleh pengetahuan
keilmuan dalam sosiologi.
Dalam penelitiannya, Weber
menemukan bahwa rasionalisasi dan Protestantisme-Calvinis menjadi penyebab
utama lahirnya masyarat kapitalisme.
DARI EROPA KE AMERIKA SERIKAT
Latar Belakang
-
Para sosiolog awal AS menganut politik
Liberal dengan dua elemen: (1) Keyakinan akan kebebasan dan kemakmuran
individu. (2) Evolusi sosial.
-
Urbanisasi dan industrialisasi yang sedang
berkembang di AS.
-
Pengaruh teori sosiologi Eropa.
-
Sesudah PD II, yang menjadi pertanyaan
utama para ilmuan AS, adalah: Ilmu Pengetahuan untuk apa?
-
Pengaruh pendekatan positifisme
(epistemologi).
-
Pengaruh Filsafat Pragmatisme dan
Utilitarianisme.
Oleh karena banyak sosiolog dan aliran sosiologi yang
berkembang di AS (fungsionalisme
struktural, neo fungsionalism, konflik, interaksi simbolisme, femenisme,
jaringan sosial, pilihan rasional, neo positifisme, neo Marxian) maka saya
memilih tiga sosiolog yang sangat berpengaruh, yaitu Talcot Parsons (fungsionalisme
struktural), George Herbert Mead
(interaksionisme simbolis), Ralf Dahrendorf (konflik)
Talcot Parsons (1902-1978)
Secara umum perhatian utama fungsionalisme struktural ialah struktur
sosial skala besar dan institusi masyarakat dalam kesaling-terkaitannya dan
efek hambatannya terhadap aktor.
Bagi Parsons, masyarakat adalah keutuhan yang
sistemik-fungsional. Fokus utama teorinya adalah: struktur tindakan sosial. Ia mendefinisikan sistem sosial sbb.:
“Sistem sosial terdiri dari beragam aktor individual yang berinteraksi satu
sama lain dalam situasi yang setidaknya memiliki aspek fisik atau lingkungan,
aktor yang cenderung termotivasi ke arah “optimalisasi kepuasan” dan yang
hubungannya dengan situasi mereka, termasuk hubungan satu sama lain, didefinisikan dan diperantarai dalam bentuk
sistem simbol yang terstruktur secara kultural dan yag dimiliki bersama”.
Definisi ini memuat konsep-konsep utama sistem sosial
Parsons: aktor, interaksi, lingkungan, optimalisasi kepuasan, dan kebudayaan.
Parsons menempatkan status-peran
sebagai unit terdasar dari sistem sosial. Status
merujuk pada posisi struktural dalam sistem sosial; peran adalah apa yang dilakukan aktor dalam suatu posisi, yang
dilihat signifikansi fungsionalnya bagi sistem yang lebih besar. Parsons membedakan
empat subsistem dalam masyarakat: ekonomi (kerja, produksi, alokasi), politik (mobilisasi aktor dan sumber daya untuk
mencapai tujuan), pengasuhan
(internalisasi budaya), komunitas
(integrasi sosial).
George
Herbert Mead (1863=1931)
Prinsip-prinsip umum
interaksionisme simbolis: manusia adalah
makhluk yang memiliki daya pikir. Daya pikir dikembangkan dalam interaksi
sosial. Dalam interaksi sosial orang mempelajari makna dan simbol yang
memungkinkannya menggunakan daya pikirnya. Makna dan simbol memungkinkan orang
melakukan tindakan dan interaksi khas manusia dan orang mampu memodifikasi
makna dan simbol sesuai kebutuhan interaksinya.
Masyarakat menurut
Mead adalah proses sosial terus-menerus, yang mendahului pikiran dan diri.
Individu membawa serta masyarakat, memberinya kemampuan, melalui kritik diri,
untuk mengontrol diri sendiri.
Pendidikan adalah proses internalisasi kebiasaan umum
komunitas (institusi) pada diri aktor.
Proses internalisasi ini tidak boleh menindas daya kreatif
individu. Institusi mengekang dan
sekaligus mendorong individu menjadi individu kreatif.
Ralf
Dahrendorf (1929-2009)
Para teoretisi konflik beorientasi pada pembahasan struktur
dan institusi sosial. Bagi para teoretisi fungsionalisme struktural, masyarakat
dipahami sebagai sesuatu yang statis atau paling-paling keseimbangan yang
dinamis, dan keteraturan. Bagi Dahrendorf dan para teoretisi konflik melihat
pertentangan dan konflik dalam setiap sistem sosial; banyak elemen masyarakat
yang justru berperan dalam lahirnya disintegrasi dan perubahan sosial.
Menurut Dahrendorf setiap masyarakat memiliki dua wajah (konflik
dan konsensus), karena itu teori sosiologi harus dibagi ke dalam dua bagian,
teori konflik dan teori konsensus.
Dahredorf memusatkan perhatiannya pada struktur sosial
skala besar. Dan menurut dia berbagai posisi dalam masyarakat memiliki otoritas
yang berlainan. Otoritas tidak bersifat konstan karena melekat pada posisi
bukan pada orang. Setiap asosiasi mempunyai dua kelompok, superordinat dan subordinat, yang memiliki kepentingan bersama.
Yang berada pada superordinat berusaha mempertahankan status quo sementara
subordinat berusaha melakukan perubahan. Konflik kepentingan dalam asosiasi
apapun bersifat latent yang sekaligus berarti legitimasi otoritas selalu berada
pada posisi rawan.
Perkembangan umum sosiologi selanjutnya pada pertengahan
abad ke 20 dan awal abad ke 21 dicirikan oleh perhatian terhadap pendekatan
integratif (makro-mikro, agensi-struktur) dan perbedaan pandangan tentang
masyarakat kontemporer, apakah masih disebut masyarakat modern atau
masyarakat post-modern. Saya memilih dua
sosiolog (seorang dari Jerman dan seorang dari AS) untuk ditampilkan pada masa
ini.
Jurgen
Habermas (1929- )
Yang menjadi pokok utama perhatian Habermas ialah tindakan komunikatif. Tindakan
komunikatif ialah tindakan komunikasi antar para aktor secara rasional dan
bebas tekanan dari luar. Habermas membedakan dua jenis tindakan dalam
masyarakat: tindakan rasional bertujuan (kerja)
dan tindakan komunikatif (interaksi).
Berbeda dengan Marx, Habermas sangat tertarik pada tindakan komunikatif. Tindakan rasional bertujuan dibedakan atas tindakan intrumental (melibatkan aktor
tunggal) dan tindakan strategis
(melibatkan lebih dari satu aktor yang berkoordinasi) Tindakan komunikatif
tidak didasarkan pada kalkulasi egosentris kesuksesan, tetapi pada pencapaian
pemahaman bersama yang memungkinkan mereka dapat mengharmoniskan rencana
bertindak mereka berdasarkan definisi situasi
bersama.
Habermas membagi dunia kehidupan sosial atas dua komponen: sistem (representasi perspektif
eksternal) dan dunia kehidupan (representasi
sudut pandang internal – aktor dalam masyarakat).
Sistem berakar pada dunia-kehidupan
dan dalam perkembangannya melahirkan strukturnya sendiri, meliputi keluarga,
sistem peradilan, negara, dan ekonomi.
Struktur-struktur ini berevolusi mencapai kemandirian dalam kekuasaan,
akan semakin mampu mengendalikan dunia-kehidupan. Tetapi pada saat yang sama
mereka semakin jauh dari dunia-kehidupan. Dalam kondisi sedemikian, justru
tindakan komunikatif tidak semakin mengarah pada tercapainya konsensus.
Komunikasi semakin rigid, miskin, dan terfragmentasi. Dunia-kehidupan menghadapi
bahaya kehancuran. Kondisi ini adalah
akibat sistem yang “menjauh” dari dunia-kehidupan justru mengolonisasi dunia-kehidupan. Dalam masyarakat modern ada
dua kekuatan dalam proses kolonisasi ini:
uang dan kekuasaan. Hidup aktor semakin termoneterisasi dan
terbirokratisasi. Untuk mengatasi
masalah ini, Habermas mengusulkan agar dunia-kehidupan dan sistem dipisahkan,
dan dibangun relasi dialektis antara dunia-kehidupan dan sistem agar keduanya
secara dinamis saling memperkaya.
Habermas melihat dunia modernitas
sebagai “proyek yang belum selesai”. Dalam dunia modernitas rasionalitas sistem
(kompleks, terdiferensiasi, terintegrasi, rasio instrumental) berbeda dan
bertentangan dengan rasionalitas yang menjadi ciri dunia-kehidupan. Akibatnya meskipun kita kaya dengan
hasil-hasil rasionalisasi sistem, kita tengah miskin akan kekayaan hidup yang
berasal dari dunia-kehidupan.
Habermas menentang kaum
postmodernis dengan berpendapat, antara lain: kalangan postmodernis ragu apakah
mereka akan menghasilkan teori serius atau sastera, postmodernis digerakkan
oleh sentimen-sentimen normatif namun sentimen-sentimen itu disembunyikan dari
pembaca.
Anthony Giddens (1938- )
Giddens terkenal dengan teori
strukturasinya dalam upaya mengintegrasikan agensi dengan struktur. Menurut
Giddens ranah dasar studi ilmu-ilmu sosial bukanlah pengalaman aktor individu,
ataupun eksistensi bentuk totalitas apa pun, melainkan praktik yang ditata di
sepanjang ruang dan waktu.
Jadi, inti dari teori strukturasi
Giddens berfokus pada praktik sosial.
Agensi dan struktur adalah
dualitas, tak terpisahkan. Semua tindakan sosial melibatkan struktur, dan semua
struktur melibatkan tindakan sosial.
Ketika mengekspresikan dirinya
sebagai aktor, orang melakukan praktik, dan melalui praktik inilah kesadaran (reflektif) dan struktur dihasilkan.
Giddens berbicara tentang
agensi-struktur secara historis, prosesual, dan dinamis.
Terbentuknya aktor (agen) dan
struktur tidak terlepas satu sama lain. Struktur adalah media dan hasil
tindakan aktor dan struktur tersebut secara rekursif mengorganisasi tindakan
aktor.
Bukan hanya aktor sosial saja yang
bersifat reflektif, peneliti sosial yang mekakukan kajian atasnya pun demikian
pula (hermeneutika ganda).
Aktor, secara sadar-reflektif, terlibat dalam pencarian rasa aman, untuk itu
aktor merasionalisasikan dunianya, agar tujuan tindakan tercapai secara
efisien.
Giddens membedakan antara kesadaran diskursif (penjabaran tindakan
dalam kata-kata) dan kesadaran praktis (tindakan
diterima begitu saja oleh aktor tanpa
mengekspresikan apa yang dilakukan lewat kata-kata). Tipe kedua ini berfokus
pada apa yang dilakukan bukan pada apa yang dikatakan.
Kemampuan untuk mengadakan
perubahan berada di tangan aktor, karena itu aktor harus memiliki kekuasaan
yang memungkinnya menciptakan perbedaan.
Struktur sosial bisa menghambat,
tapi jangan dilebih-lebihkan, karena bagi Giddens, struktur selalu menghambat dan mendorong.
Bagi Giddens, masyarakat modern
belum memasuki post-modern. Ia mendefinisikan modernitas berdasarkan empat
institusi dasar: Kapitalisme, industrialisme, kapasitas pengawasan, kontrol
atas sarana kekerasan.
Kedinamisan modernitas dikenali
lewat tiga aspek terpenting: penjarakan
(ruang terpisah dari waktu, keterkaitan ruang dan waktu terputus), keterlepasan (“diangkatnya” relasi
sosial dari konteks interaksi lokal ke aras global), reflektifitas.
Bagi Giddens dunia modern (modernitas adalah kebudayaan berisiko) sedang bergerak menuju dunia yang akan
menghadapi pertanyaan-pertanyaan moral (sosial dan indifidual). Karena itu dunia
setelah modernitas ditandai dengan remoralisasi.
Giddens menolak gagasan teoretisi
post-modernisme tentang kemustahilan suatu pengetahuan yang sistematis;
pandangan ini akan menyebabkan kita menolak seluruh aktifitas intelektual.
Teori Sosial Postmodernitas dan Post-postmodernitas
Salah seorang tokoh postmodernis,
Fredric Jameson menggambarkan ciri dunia postmodernitas, sbb.: dangkal dan
superfisial, miskin perasaan dan emosi, manusia kehilangan tempat dalam sejarah
(sulit membedakan masa lalu, masa kini, masa depan), dominasi teknologi yang
implosif.
Masyarakat postmodern dengan ciri
di atas memerlukan cara berpikir yang berbeda dengan masyarakat modern. Kaum postmodernisme
menolak: narasi besar, pembatasan disiplin, mencari isu-isu pinggiran ketimbang
masalah inti masyarakat.
Kritik terhadap teori
postmodernisme:
1)
Gagal memenuhi standar ilmiah modern.
2)
Pengetahuan yang dihasilkan postmodernisme
tidak dapat dipandang sebagai
pengetahuan keilmuan, tetapi lebih merupakan idelogi.
3)
Postmodernisme tidak mengakui adanya norma
keilmuan, mereka bebas melakukan apa yang mereka sukai, bermain-main dengan
berbagai gagasan. Generalisasi ditawarkan tanpa penilaian.
4)
Gagasan postmodern seringkali begitu kabur
dan abstrak sehingga sulit mengaitkannya dengan dunia sosial.
5)
Ditengah-tengah mereka mengkritik narasi
besar teoritisi modern, para teoritisi postmo justru menawarkan jenis narasi
mereka sendiri.
6)
Dalam analisis mereka, para teoritisi
sosial postmodern seringkali menawarkan kritik atas masyarakat modern, namun
kritik mereka sulit diterima karena tidak memiliki basis normatif. Apalagi
mereka tidak memiliki gambaran tentang masyarakat yang ideal.
7)
Meskipun para teoritisi sosial postmodern
berpegang teguh pada apa yang mereka pandang sebagai isu-isu sosial utama,
namun seringkali mereka berakhir dengan pengabaian atas hal-hal dipandang banyak orang sebagai
masalah utama sosial masa kininya.
( Lihat, Ritzer dan Goodman,
683,684).
Muncul teori sosial post-postmodern
yang mengoreksi kelemahan teori sosial postmodern yang dipandang mengabaikan
subyek manusia dan dipandang anti humanisme. Aliran post-postmodern membela
norma-norma universal dan rasional dalam moral dan politik serta hak asasi
manusia.