Thursday, June 25, 2015

PERJALANAN GEREJA MENUJU KEARAH REKONSILIASI DAN KEADILAN RASIAL

Gereja Reba Place adalah jemaat yang beranggotakan 300 orang yang terletak di Evanston Illinois, dan merupakan anggota dari Gereja Menonit dan Gereja Brethren. Komunitas ini didirikan oleh anggota Menonit Eropa Amerika pada awal 1960an dan berlokasi di perkotaan dengan tujuan untuk dapat mengatasi masalah individualism, materialism dan kekerasan yang berasal dari budaya yang mendominasinya.
Populasi yang ada disekitar gereja merupakan campuran dari masyarakat Afrika Amerika dan Eropa Amerika, ditambah dengan imigran Latin dan Kamboja yang terus meningkat jumlahnya. Gereja ini juga terdiri dari kelompok masyarakat kelas menengah dan berpendidikan. Akan tetapi, masyarakat di sekitarnya juga memiliki latar belakang ekonomi, kelas dan pendidikan yang beragam.
Visi awal dari Gereja Reba Place adalah memelihara kehidupan masyarakat sekitarnya dan mengundang mereka untuk bersekutu bersama. Oleh karena itu, maka mereka mendirikan pusat penitipan dan bangunan apartemen untuk melayani masyarakat sekitarnya. Ketika telah terjalin keakraban dengan masyarakat sekitarnya, maka gereja-gereja Afrika Amerika mulai bergabung dengan Reba Place melalui kelompok paduan suara dan pertukaran pelayanan serta pelayanan bagi masyarakat sekitarnya.
Pada musim panas 1991, didirikan sekolah minggu khusus dewasa yang menitikberatkan pada rekonsiliasi rasial. Kegiatan ini beranggotakan 40 orang. Setelah adanya sharing yang mendalam serta pendidikan yang jelas, maka terbentuklah 4 kelompok jemaat kecil yang disebut “Kelompok Harapan Hidup” yang berdoa untuk rekonsiliasi dan keadilan rasial dan mendengarkan petunjuk Roh Tuhan. Beberapa hasil dari kegiatan ini adalah:
·         Kelompok rekonsiliasi rasial mulai melakukan pertemuan setiap minggu untuk berdoa, berdiskusi dan berbagi pendapat tentang pelaksanaan rekonsiliasi rasial;
·         Pendeta Afrika Amerika dijadikan salah satu dari keempat tua-tua Reba Place, kemudian melakukan hubungan dengan gereja lain serta mulai bergabung dengan masyarakat sekitar.
·         Kelompok paduan suara gereja tidak hanya bernyanyi di gereja Reba Place, tetapi juga diundang untuk bernyanyi di gereja lain atau di universitas sekitarnya, di pertemuan regional denominasional, dan perayaan-perayaan yang diadakan di taman distrik.
·         Kelompok yang terdiri dari 4 orang (dua perempuan dan 2 laki-laki, termasuk 2 Afro Amerika dan Eropa Amerika) menerima pelatihan tentang pendidikan dan pengorganisasian antirasisme.
·         Mulai menawarkan workshop tentang antirasisme, yang dimulai dengan kelompok rekonsiliasi rasial dan kelompok kepemimpinan.
·         Setiap minggunya kelompok kecil mulai didorong untuk mempelajari dan menindaklanjuti kegiatan rekonsiliasi dan keadilan rasial (sebagai contoh, satu kelompok ditugaskan dalam kegiatan antirasisme sementara Lent dan kelompok pria bertugas mempelajari buku Enter the River).
·         Lima orang Afro Amerika diundang untuk bergabung dalam komite kepemimpinan yang beranggotakan 9 orang.
·         Pelayanan ibadah juga diubah, dan mulai digunakan juga pelayanan ibadah dengan pola Afro Amerika.
·         Kotbah yang disampaikan juga lebih banyak menyinggung tentang rekonsiliasi rasial.
·         Ibadah minggu malam yang diadakan di taman kota mulai banyak didominasi oleh anggota jemaat Afro Amerika.
·         Jemaat juga dapat memilih salah satu anggota jemaat Afro Amerika sebagai dewan distrik lokal.
·         Pelayanan peribadatan juga merayakan perjalanan menuju kearah keadilan dan rekonsiliasi rasial dan terus mengidentifikasi tantangan-tantangan yang masih akan terus ada.
Usaha rekonsiliasi ini terus dilakukan dalam hidup dan pelayanan Gereja Reba Place. Komunitas iman ini menjadi lebih terintegrasi secara rasial dan orang-orang Afro Amerika terlibat secara aktif dalam pengambilan keputusan dan kepemimpinan di gereja. Proses pengambilan keputusan juga berubah, bahkan mulai bertentangan dengan pola tradisional.
                Persahabatan mulai berkembang antar ras. Kegiatan dan program-programnya juga disusun berdasarkan tujuan keadilan dan rekonsiliasi rasial. Kurikulum pendidikan Kristen juga dievaluasi kembali dan rencana pelayanan pemuda juga lebih memprioritaskan tentang penghilangan rasisme. Masalah keadilan dan rekonsiliasi rasial ini juga menjadi bagian dari kegiatan penginjilan dan pemuridan melalui kelompok-kelompok tumbuh bersama. Misi gereja dan pelayanan kemasyarakatan juga dikembangkan berdasarkan survey atas kebutuhan masyarakat sekitar, melalui pembelian bangunan lain bagi penduduk berpendapatan rendah, dan melalui program pelajaran setelah sekolah bagi siswa-siswa sekolah dasar. Ibadahnya juga telah diubah menjadi lebih menggambarkan secara imani tentang kenyataan adanya keberbedaan dan kepemilikan. Seluruh proses ini seringkali mengharuskan gereja berhadapan dengan konflik dan tekanan untuk mencampurkan antara rekonsiliasi dan perdamaian dengan pencarian keadilan.
                Jumlah kepemilikan pada level akar rumput yang signifikan membuat jemaat ini dapat maju dengan pesat. Langkah awal ini dianggap sebagai cara yang baik untuk menghidupkan visi gereja Reba Place. Beberapa pemimpin mencatat bahwa cara-cara yang telah berjalan ini telah memberikan jalan bagi munculnya inovasi-inovasi tanpa menimbulkan hasil yang mengecewakan. Mereka membutuhkan wadah yang baru untuk inovasi yang baru juga.
                Cerita tentang perjalanan gereja Reba Place menuju kea rah keadilan dan rekonsiliasi rasial menggambarkan tantangan dan kesempatan bagi pendidikan jemaat yang berorientasi pada transformasi personal dan social. Gereja juga perlu berhadapan dengan kemiskinan yang terus bertambah, ketidaksetaraan, ketidakadilan ekonomi, kekerasan dan militerisme, diabaikannya sekelompok orang tertentu, system peradilan yang tidak adil, dan struktur lain yang mendiskriminasi, memarjinalkan, menekan dan mengasingkan. Selanjutnya, gereja juga harus terus menerus menghadapi manifestasi ketidakadilan dan penderitaan dalam pergumulannya.
                Beberapa asumsi juga akan diuraikan dalam bab ini. Pertama, Injil Allah yang diajarkan dan ditinggalkan oleh Yesus di dunia ini  bersifat transformative. Iman Kristen harus berperan aktif dalam perubahan masyrakat dan budaya. Kedua, pelayanan pendidikan di gereja bersifat mutlak. Ketiga, pendidikan jemaat harus dilandaskan pada dasar alkitabiah-teologis yang menyangkut tentang pembebasan, keadilan dan perdamaian.

TUJUAN: LAHIRNYA MANUSIA DALAM TERANG TUHAN
                Tujuan menyeluruh dari pendidikan Kristen, yang berorientasi pada keadilan, harus konsisten dengan pelayanan gereja bagi dunia. Pendidikan Kristen ditengah jemaat meliputi dukungan terhadap lahirnya manusia dalam terang Tuhan.
                “Dukungan terhadap lahirnya manusia”. Istilah dukungan ini mengacu pada gaya didikan Yesus – dengan cara menjadi sama dan berjalan bersama manusia yang ditandai dengan cara-cara yang penuh kasih, keterlibatan yang penuh, pemberdayaan yang penuh kelembutan, dan undangan yang penuh kemurahan ke dalam sebuah persekutuan dan komunitas. Dukungan ini bersifat mendorong, memampukan dan mengarahkan, yang sifatnya bertentangan dengan sifat otoriter, paternalistic dan manipulative dalam mendidik.
                Kita menjadi rekan sekerja Roh Tuhan yang bekerja didalam dan melalui kita. Dengan kata lain, bukan kita yang mempengaruhi kebebasan, keadilan, pertumbuhan dan keutuhan, tetapi Tuhan, seperti yang diuraikan oleh Paulus di dalam 1 Kor 3:5-11. Akan tetapi, Tuhan juga mengundang kita untuk berpartisipasi sebagai hasil karya baru dalam mendukung kemunculan manusia.
                Munculnya manusia menunjukkan suatu proses untuk menjadi “lebih manusiawi” dipandang dari sudut anugrah dan janji Tuhan atas kebebasan dan keutuhan, hidup berdasarkan kerangka etik, politik dan eskatologi dari kuasa Allah. Sehingga proses “kemunculan” ini menggunakan proses formasi dan transformasi yang holistik. Formasi adalah pertumbuhan dan pendewasaan secara bertahap; tranformasi adalah proses yang melibatkan perubahan dan krisis yang radikal, seringkali ditandai sebagai konversi, yang menyebabkan reorientasi dari iman dan hidup seseorang maupun komunitasnya. Jadi, formasi dan transformasi dalam situasi kehidupan ini akan saling terjalin dan pelayanan pendidikan jemaat mendukung munculnya manusia melalui kedua cara ini.
                Dalam terang kuasa Tuhan”. Ada banyak pandangan tentang kemunculan manusia, tetapi dalam sudut pandang pelayanan pendidikan dalam bab ini lebih mengacu pada visi etis, politis dan eskatologis dari kedaulatan Allah. Kuasa Tuhan adalah kunci dari pelayanan Yesus. Simbol ini menekankan antara “yang sudah ada” (berkat yang sudah diterima, mimpi yang sebagian sudah terealisasi) dan “yang belum ada” (janji) dari kuasa Allah. Simbol ini juga mengajak gereja dan praktisi pendidikan yang membantu perkembangan domestikasi.
                Dari sekian banyak cara yang dapat menstrukturisasi kehidupan social, ekonomi dan politik, hanya sebagian saja yang sesuai dengan kehidupan gereja. Sebagai contoh, di AS tumbuhnya kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin memunculkan tantangan yang berat. Etika dan politik kasih dan “pilihan terbaik bagi orang miskin” – istilah favorit bagi orang Kristen Latin Amerika – menjadi kriteria yang bersifat alkitabiah-teologis untuk menilai system politik dan ekonomi. Mencari dan memasuki tahta Tuhan berarti bahwa berkat, janji dan tuntutan akan ciptaan baru menjadi kekuatan bagi suatu jemaat. Sederhananya, pendidikan Kristiani harus berkaitan secara komprehensif dengan pelaksanaan Hukum Tuhan tentang kasih Allah dan sesama.
                Pendidikan jemaat juga berperan penting dalam pembentukan ciptaan baru dengan mendukung menculnya manusa dalam terang kuasa Tuhan dalam beberapa cara yang saling berhubungan, yaitu: dengan cara membuka akses tentang pengetahuan dan kasih Allah; dengan mengarahkan proses formasi dan transformasi dalam hal pemuridan (mengikut Yesus Kristus) ditengah jemaat; dan dengan memampukan seseorang untuk berpartisipasi dan tumbuh dalam iman Kristennya sekaligus mendukung panggilan gereja untuk mengembangkan suatu masyarakat yang lebih beriman dan transformasi social demi kebebasan, keadilan dan perdamaian.

REKAN DALAM PEMURIDAN: MURID DAN GURU
                Pendidikan Kristen untuk kebebasan, keadilan dan perdamaian sebenarnya bertentangan dengan nilai-nilai yang mendominasi kehidupan masyarakat AS, seperti pencarian prestasi, kemakmuran, individualism, kompetisi, konsumsi dan militerisme. Pendidikan Kristen juga bertentangan dengan praktek-praktek gereja seperti patriarki, moralisme, legalisme dan tidak adanya kasih. Di satu sisi, pembentukan murid yang beriman dilakukan dengan cara yang bertentangan dengan domestikasi – bertentangan dengan prinsip kepatuhan, keseragaman dan keterlibatannya dengan struktur ketidakadilan,tekanan dan pengabaian. Di sisi lain, pelayanan di bidang pendidikan membutuhkan partisipasi aktif sebagai warga yang penuh kasih, keberanian dan keperdulian dalam terang kuasa Tuhan.

GURU SEBAGAI SPONSOR/PENDUKUNG
                Guru sebagai sponsor adalah rekan yang setara dalam perjalanan kehidupan dan iman. Melalui pengajaran, yaitu koordinasi dan kepemimpinan/proses pengajaran, para guru terlibat dalam langkah awal yang penuh kasih, keterlibatan secarapribadi yang penuh keterbukaan, pemberdayaan yang penuh kelembutan dan mengajak muridnya untuk bekerjasama dan bermasyarakat. Sebagai sponsor, guru mendorong muridnya untuk dapat mengakses tradisi, petunjuk dan kesanggupan iman. Pandangan dari guru ini secara jelas menolak segala bentuk praktek-praktek otoriter, paternalistic dan manipulasi dalam pelayanan pendidikannya. Dengan  kata lain, pendidikan Kristen tentang keadilan dan perdamaian mengharuskan guru dapat mengajar dengan cara yang adil dan penuh kedamaian
                Thomas Groome mengatakan bahwa para murid dianggap sebagai “agen sejarah yang bebas dan bertanggungjawab” dan sebagai obyek utama dari kemunculan manusia bagi dirinya sendiri. Para murid adalah makhluk awam yang diberi hak untuk berhubungan penuh kasih dengan Allah, diri sendiri, orang lain dan ciptaan lainnya, mereka juga dapat berbuat dosa atau menerima anugrah. Dasar alkitabiah-teologis dan pendidikan ini menunjukkan bahwa guru dan mrid (serta pemimpin gereja lainnya) perlu mengalami perubahan secara epistemology. Kenyataan hidup dapat terlihat lebih jelas, dalam dan nyata jika kita focus pada situasi yang penuh dengan tekanan, keterasingan dan penderitaan , dalam terang kuasa Allah. Kita belajar untuk mendengarkan manifestasi iman pada orang-orang awam yang miskin, tertekan, menjadi korban dan terpinggirkan baik di gereja maupun masyarakat. Penderitaan manusia seringkali membantu kita untuk lebih memahami apa yang sedag terjadi di sekitar kita – yaitu, apa yang tidak Tuhan inginkan (kurangnya kasih, tidak adanya kemakmuran dan ketidakadilan) dan apa yang Tuhan inginkan (kebebasan, kedamaian dan keutuhan). Para ahli teologi pembebasan menggarisbawahi keistimewaan epistemology si miskin. Penegasan dan refleksi yang distimulasi oleh penderitaan manusia seharusnya tidak membenarkan adanya penderitaan, tetapi justru harus mendorong kita untuk memerangi dan menguranginya. Dengan kata lain, tempat bagi luka atau penderitaan sebenarnya dapat menjadi tempat bagi berkat dan wahyu yang baru.

TUMBUH DALAM PEMURIDAN YANG BERTANGGUNGJAWAB
                Pandangan-pandangan yang terdapat pada bab ini merupakan kelanjutan dari sudut pandang “rekonstruksionis” dan “sosiopolitik” dari pendidikan: Pendidikan meningkatkan kesadaran para murid tentang kebutuhan transformasi komunal dan social dan memampukan mereka untuk berpartisipasi dalam perubahan ini. Sebagian besar dari apa yang diketahui oleh seseorang dipelajari melalui keterlibatan aktif dan refleksi kritis,dialog dan tindakan yang difokuskan pada hal-hal penting dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan bagi pertumbuhan adalah masalah yang harus dihadapi, berdialog dengan para murid untuk menentukan masalah yang kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari.
                Refleksi teologis juga mendorong munculnya asumsi tentang pertumbuhan. Firman Tuhan dalam Efesus 4:15, “kita harus bertumbuh dalam….Kristus” dapat diterapkan baik untuk guru maupun murid. Panggilan Ilahi yang terangkum secara eksplisit melalui Yesus Kristus mengundang kita ke dalam formasi dan transformasi yang selaras dengan Tuhan yang hidup di dunia ini. Guru dan murid mengambil bagian pada proses pertumbuhan dalam kegiatan pemuridan dalam pandangan Allah yang hidup, kebajikan Kristus, dan panggilan Roh Kudus.
                Pertumbuhan dalam visi tentang Allah yang hidup secara sederhana diartikan sebagai cara melihat kenyataan dengan sudut pandang Allah. Dengan tetap menghormati akan kehadiran Allah, akan dunia di sekitar kita dan diri kita sendiri, kita mulai mendefinisikan apa arti bertumbuh dalam pandangan Allah yang hidup. Penghormatan atas kehadiran sesuatu adalah salah satu bentuk rasa hormat yang lain. Kita menghormati orang lain, dan orang-orang asing yang seringkali disepelekan serta orang-orang yang terpinggirkan. Dengan mengenal mereka maka kita dapat melihat misteri Allah.
                Dengan belajar menggunakan kacamata ketuhanan untuk menghadapi dunia, kita melihat berdasarkan kepekaan Kristiani, dengan kasih, dengan ketulusan dan sudut pandang yang khusus. Alkitab berulangkali menunjukkan bahwa Tuhan seringkali memandang orang-orang yang terpinggirkan. Tuhan member perhatian khusus pada penderitaan dan keterasingan manusia. Oleh karena itu kami juga mengemukakan pandangan lain: Penghakiman Allah dan panggilan pertobatan seringkali menghadapi tantangan berat yaitu tradisi dan kebijakan konvensional. Dengan demikian imajinasi kreatif kami juga berkembang, kami membayangkan masa depan yang lebih baik berdasarkan janji kekal Allah. Melihat melalui pandangan Allah membebaskan kita dari cara pandang yang salah dan membebaskan kita untuk mendidik dan membangkitkan kesadaran alternative lainnya.
                Pandangan Allah yang hidup ini juga dapat berupa karakter yang tidak nyata dimana Allah menginginkan kita dapat menghadapi kenyataan akan adanya kejahatan dan dosa. Kuncinya adalah belajar untuk menerima, memahami dan menanggapi keberadaan dan tindakan Tuhan di dunia sekitar kita maupun dalam hidup kita sendiri. Pertumbuhan cara pandang ini secara khusus juga berhubungan dengan hidup peribadatan kita. Kecerdasan spiritual ini adalah suatu cara untuk melihat secara mendalam yang merupakan “ujian iman” melalui kehidupan doa kita.
                Pertumbuhan dalam kebajikan Kristus, adalah dimensi kedua dari kemunculan manusia yang terjadi ketika seseorang menjadi serupa dengan hati Yesus Kristus. Konsep kebajikan berarti integritas dan kekuatan moral, atau karakter moral. Kebajikan adalah gambaran dari orientasi utama dimana kita mewujudnyatakan keyakinan dan tindakan kita. Pertumbuhan dalam kebajikan, secara sederhana diartikan sebagai formasi dan transformasi seseorang atau suatu komunitas yang sedang berlangsung berdasarkan karakter dari Yesus Kristus. Ketika kita berpartisipasi dalam karya Tuhan yang kreatif, membebaskan, memelihara dan memperbarui maka kita juga belajar untuk memelihara dunia seperti yang telah dilakukan oleh Kristus. Proses formasi dan trasformasi ini berjalan seumur hidup. Menurut istilah Pauline, Kristus terbentuk di dalam dan diantara para murid; Kristus menggambarkan suatu ekspresi historis yang unik pada seseorang sebagai individu maupun dalam jemaat.
                Kebajikan dapat didefinisikan sebagai sifat dan sikap kita yang terdalam, yaitu “kebiasaan hati” – kasih dan cinta yang dalam yang menggambarkan ekspresi cinta Allah yang sesungguhnya dan cara hidup yang sesuai dengan kuasa Tuhan yang membebaskan, adil dan damai. Oleh karena itu, seperti yang diutarakan oleh Stanley Hauerwas, jenis karakter yang kita miliki ini berhubungan dengan jenis komunitas dimana kita mewarisi symbol dan tindakan utama kita. Kebajikan seperti cinta, kasih, ketulusan, kedamaian, keadilan, dan pengharapan menjadi identitas yang tampak dalam hidup seseorang atau komunitas. “Kebajikan-kebajikan” ini dapat diasah melalui praktek dan disiplin yang dilakukan oleh gereja. Ringkasnya, pertumbuhan dalam kebajikan berarti “menjadi lebih manusiawi” bersama dengan hati Kristus.
                Pertumbuhan dalam panggilan Roh Kudus berarti bahwa kita semakin berpartisipasi dalam hidup Tuhan di dunia ini. Panggilan ini dapat dilihat melalui dua cara: 1) “panggilan” menunjuk pada panggilan Tuhan terhadap partisipasi dan kerjasama manusia dalam tujuan dan aktivitas Allah yang kreatif, membebaskan dan memelihara/memperbarui di dunia ini; dan 2) respon manusia terhadap panggilan Allah dengan kehidupan kita secara total.
                Dari perspektif Kristiani, panggilan manusia ini tidak sekedar digambarkan dengan pekerjaan, karir atau profesi seseorang, meskipun itu juga penting. James Fowler mencoba memperjelas pandangan ini: Panggilan Tuhan menunjuk pada perpaduan segala sesuatu yang meliputi hubungan kita, rekreasi dan kesenangan kita, pekerjaan kita, kehidupan pribadi dan umum kita, serta anugrah, enerji, waktu dan sumberdaya yang kita miliki. Panggilan Tuhan berarti memfokuskan hidup kita dalam melayani Tuhan, mengasihi sesama dan mencintai dunia ini. Panggilan ini memberikan tujuan yang lebih besar bagi hidup kita; memberi integritas, semangat, keberanian dan arti bagi hidup kita.
                Fowler juga mengemukakan bahwa melalui suatu komitmen, kita memahami talenta dan menemukan tempat dimana kita bisa menempatkan berkat ini sebagai pemberian Tuhan yang memanggil kita sebagai manusia dan rekan sekerjaNya. Bertumbuh dalam panggilan Tuhan berarti menemukan cara untuk menjadi dan hidup dalam dunia ini yang sesuai dengan tujuan dan aktivitas Tuhan. Gagasan teologis tentang trinitas membantu kita memahami panggilan kita di dunia ini: karya Tuhan adalah mencipta, menebus dan mengatur dunia ini. Demikian juga dengan tugas kita. Metafora dari Sallie McFague memaparkan kembali doktrin ini dengan cara yang dapat dipahami dengan mudah. Dia mengajak kita untuk menggambarkan Allah sebagai Orangtua (pencipta), Penyayang (menyelamatkan) dan Teman (memelihara). Sehingga panggilan ini dapat dihubungkan dengan tugas-tugas untuk: (a) mengandung dan melahirkan, memberi makan, merawat, mengasuh, membimbing; (b) membebaskan, menyembuhkan, memulihkan, mendamaikan, memanusiakan; dan (c) menyediakan diri, menemani, menguatkan, melayani, membela.
                Yang menjadikan misi gereja ditengah sejarah adalah cara utama kita bertumbuh dalam panggilan Roh Kudus. Ringkasnya, kita menjadi “lebih manusiawi” jika kita berpartisipasi dalam karya Tuhan di dunia ini yang bersifat kreatif, membebaskan dan memperbarui. Pemuridan dan kewarganegaraan harus terintegrasi. John Coleman menyatakan bahwa kewarganegaraan ini secara signifikan juga dapat meningkatkan kualitas pemuridan: (1) hal ini semakin memperluas jangkauan solidaritas Kristiani dengan megingatkan gereja bahwa berkat Tuhan menjangkau sampai keluar garis dan bahwa komunitas iman ini didirikan bagi dunia; (2) dalam realitas politik saat ini, hal kewarganegaraan ini mengajarkan kerendahan hati sehingga warga Kristiani bisa belajar cara berbagi tanggungjawab dan solidaritas; dan (3) hal ini menggambarkan suatu ujian yang nyata, landasan bagi orang-orang Kristen yang mengakui adanya berkat dan penebusan yang bersifat mendunia, membebaskan dan memulihkan sehingga orang-orang Kristen dapat menaruhkan pengharapannya bagi masa depan yang sudah diubahkan, suatu ciptaan baru yang didasarkan pada kuasa Kristus yang telah bertransformasi.

PROSES: PERJALANAN HIDUP DAN IMAN
                Komitmen terhadap etika dan politik Allah merupakan panggilan untuk kembali memusatkan perhatian pada pendidikan jemaat. Dorongan terhadap transformasi komunal dan masyarakat demi kebebasan, keadilan dan perdamaian berakar di dalam jemaat. Pelayanan pendidikan berfokus pada analisis social, bentuk dan ekspresi kekuasaan, manifestasi dari suatu tekanan dan penderitaan demikian juga dengan perjuangan untuk kebebasan dan keadilan, peranan dari minat dan ideology, dinamika dari konflik social serta kemungkinan dan tantangan dari organisasi kemasyarakatan.
                Pelayanan pendidikan juga berorentasi pada perubahan social demi kebutuhan akan keadilan bagi proses belajar dan mengajar yang transformative. Lebih dari sekedar perubahan pedagogic, tetapi juga perubahan yang memberi arah bagi misi gereja di dunia ini.
                Pelayanan pendidikan yang berorientasi pada keadilan mempunyai 3 gerakan penting: pengamatan, penilaian dan tindakan. Ketiga gerakan ini menjadi moen kunci bagi proses teologis dan pendidikan di gereja.
1.       Pengamatan yang dilakukan di dunia yang nyata ini lebih difokuskan ada penderitaan dan tekanan terhadap umat manusia. Dengan kata lain, pendidikan Kristiani harus dilakukan melalui penilaian social dan budaya yang cermat. Sehingga analisis ini harus benar-benar dilihat dari perspektif dan penantian orang-orang yang sedang mengalami kekurangan dan penderitaan. Tujuannya adalah untuk menemukan dan memahami karakter dan penyebab ketidakadilan dan juga untuk memahami sifat dan dinamika keadaan yang telah menimbulkan, mempertahankan dan mengembangkan ketidakadilan. Jika kita memandang ketidakadilan dan penindasan sebagai manifestasi dari dosa, sebagai pengasingan dari Tuhan dan manusia, maka kita harus berusaha menghadapi dan mengubahnya. Pengamatan ini tidak dilakukan pada kondisi sikap yang netral, hal ini dilakukan sebagai komitmen atas pembebasan dan keadilan dari semua partisipan, termasuk keinginan untuk melakukan transformasi secara nyata.
2.       Penilaian ini terdiri dari upaya untuk memahami kehendak Tuhan dalam situasi historis yang konkrit. Ini adalah tugas yang harus diemban secara serius dan penuh kerendahan hati, karena kita sedang mencari tahu apa yang dipikirkan Tuhan (atau bahkan untuk  menemukan impian Tuhan). Kami menjelaskan praktek-praktek Kristiani dengan melihat realitas sejarah secara konkret dalam terang wahyu Tuhan  - penafsiran Alkitab kembali dan partisipasi Roh Tuhan dala prosesnya – dan sumber iman dan tradisi Kristiani lainnya (seperti pengajaran gereja tentang kebebasan, perdamaian dan keadilan). Penilaian ini membantu kita untuk menemukan hubungan yang konkrit antara situasi social saat ini dan ajaran tentang kuasa Tuhan sehingga koneksi ini dapat menghubungkan antara struktur social dan realitas personal maupun komunal.
3.       Tindakan terdiri dari pemeriksaan, pelaksanaan dan evaluasi kegiatan-kegiatan operasional yang sesuai dengan harapan manusia akan kebebasan dan pengungkapan kehendak Tuhan bagi kelahiran dan keutuhan manusia. Dari sudut pandang pengetahuan alkitabiah, kebenaran akan muncul dari tindakan-tindakan yang benar (yaitu melakukan hal yang benar dalam terang Tuhan) dan kebenaran juga akan terlihat melalui tindakan-tindakan ini. Pendidikan Kristen harus terdiri dari tindakan dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pengamatan berorientasi pada analisis social, atau memahami dunia dengan perhatian utama pada keadilan dan keadaan yang menyedihkan dari penderitaan manusia, sebagai contoh, karena kemiskinan atau diskriminasi rasial. Interpretasi atau penilaian berhubungan dengan “dunia Tuhan” – dunia dimana Tuhan berkuasa – dengan tujuan untuk mengetahui rancangan Tuhan demi keutuhan manusia. Dalam hal tindakan, pendidikan Kristen harus muncul dari praktek-praktek Kristiani, “iman yang bekerja melalui kasih”.
Proses pendidikan yang transformative berlangsung melalui cara-cara yang induktif dan dialektik: setiap langkah saling berhubungan dengan langkah lainnya. Pelaksanaan teologi merupakan proses refleksi yang kritis dan konstruktif (yaitu, pengamatan) terhadap praktek iman Kristen di tengah sejarah (yaitu, tindakan)dalam terang Firman Tuhan (yaitu, penilaian). Dengan kata lain, pelaksanaan ini harus dilakukan dalam dimensi metode teologis yang mutlak, sehingga pelaksanaan yang bertanggung jawabpun harus dilakukan dalam proses belajar mengajar yang transformative.
Penyadaran. Istilah “penyadaran” ini sebenarnya pertama kali diungkapkan oleh Paulo Freire di Amerika Latin dalam konteks pendidikan populer yang terinspirasi oleh pendidikan Kristen, dan didefinisikan sebagai suatu proses belajar dan mengajar yang memberikan kebebasan bagi transformasi personal dan social. Jadi istilah penyadaran ini menunjuk pada suatu proses refleksi kritis dimana manusia menjadi sadar akan kekuatan sejarah yang membentuk hidupnya, bersama dengan potensi kebebasan dan kreatifitas yang telah diberikan Tuhan bagi dirinya. Istilah ini juga menunjukkan pergerakan yang actual ke arah pembebasan dan lahirnya manusia dalam diri pribadi, komunitas dan masyarakat. Dalam kelompok kecil, dengan cara dialogis dan kolaboratif, manusia berbagi cerita, pengalaman, harapan dan impiannya. Melalui pengenalan akan masalahnya, mereka berusaha bersama-sama dalam refleksi kritis dan kreatif pada situasi hidup yang nyata dan juga secara aktif mencari alternative-alternatif terbaik dengan dituntun oleh terang kuasa Tuhan.
Share:

0 comments:

Post a Comment

About