Pada perkembangan ilmu pengetahuan memungkinkan
pemahaman-pemahan dari asal ilmu pengetahuan itu sendiri. Dari perkembangnya
pandangan filsafat yang merupakan dasar dari ilmu pengetahuan memberikan warna
yang berbeda dari padangan-pandangan terhadap ilmu pengetahuan.
Sesuai perkembangannya yang dimulai dari masa plato,
aristoteles dan lainnya dari tradisional dampai modern dan saat ini pada masa
post modern, memberi banyak pandangan dan perbedaan dari ilmu pengetahuan itu
sendiri. Dimulai dari obyek dan suyek orientasi dan tujuan metodelogi yang
dilakukan membedakan diantara ilmu-ilmu tersebut.
Pada paper singkat ini penulis mencoba sedikit menguraikan
secara singkat tentang salah satu metode ilmu positivisme dan metode ilmu
social-humaniora dan menyakut perbedaan diantara keduannya.
Metode Ilmu Pengetahuan Alam (Positifisme)
Istilah ‘positif” sering digunakan dalam penulis-penulis
yang terkenal, seperti Durkhein dan lainnya bahwa maksudnya adalah filsafat
positifisme. Fakta positivis adalah fakta real atau yang nyata. Hal positif (a
positive fact) adalah sesuatu yang dapat dibenarkan oleh setiap orang yang mau
membuktikannya. Fakta positivis yang diolah melalui metode ilmu-ilmu alam
diterima sebagai fondasi pengetahuan yang valid, filsafat social yang
berkembang sejak dari plato, aristoteles dan pemikir-pemikir lain telah
spekulatif, sehingga tidak memenuhi syarat keilmuan dan dianggap tidak
bermanfaat oleh pendukuung positivisme.
Positisme bertujuan dalam menjadikan ilmu pengetahuan dengan
fondasi yang kuat dan terpercaya, ajaran dari positivisme antara lain:
- Dalam alam terdapat hukum-hukum yang dapat diketahui
- penyebab adanya benda-benda dalam alam tidak dapat diketahui (bandingkan dengan teori evolusi Darwin, karena ilmuwan tidak dapat melihat penyebabnya)
- Setiap penyataan yang secara prinsip tidak dapat dikembalikan pada fakta tidak mempunyai arti nyata dan tidak masuk akal
- Hanya hubungan antara fakta-fakta saja yang dapat diketahui
- Perkembangan intelektual merupakan sebab utama perubahan sosial (Osborne, 2001,134-135 dalam Akhyar, 2004)
Positivisme sebagai paham filsafat membatasi pengetahuan
yang benar pada hal-hal yang dapat diperoleh dengan memakai metode ilmu-ilmu
alam (induksi). Hal yang positif (a positive fact) adalah fenomena yang mesti
dibenarkan oleh setiap orang yang mempunyai kesempatan yang sama untuk menilai
(membuktikan). Positivisme menerima dan membenarkan gejala empiris sebagai
kenyataan (naturalisme) dan berfikir bahwa berfikir ilmiah yang benar adalah
berfikir obyektif, sebagai model berfikir yang tidak terikat pada individu akan
tetapi berlaku untuk semua orang.
Metode ilmiah didasarkan pada sejumlah asumsi-asumsi yang
biasanya diterima begitu saja, artinya tidak dipertanyakan lagi secara kritis.
Comte adalah ilmuan yang terkenal dalam mengemukakan
gagasan-gagasan positivisme, karena menurutnya bahawa positivisme merupakan
pemikiran yang tepat pada zaman baru yang sedang tumbuh dan berkembang.
Positivisme Comte meninggalkan spekulasi dan pemikiran metafisik (abstrak) dan
kemudian hanya berpegang pada ilmu pengetahuan yang kontruksi berdasakan
pengalaman, observasi dan penalaran logis-matematis (kuantitatif). Comte juga
menyakini bahwa kontruksi sistem pengetahuhan baru (positivisme) dapat
memberikan fondasi terpercaya bagi kepastian dan kebenaran baru bagi ilmu
pengetahuan.
Positivisme mempunyai azas-azas yang memberikan penguatan
pada kajian-kajian ilmiahnya diantaranya adalah adanya; 1) empirisme dan
positisme, 2) pengaruh metodologi ilmu-ilmu empiris yang dikembangkan, 3)
perkembangan logika simbolik dan analisa bahasa. Pemikiran-pemikiran yang
dikuatkan oleh para pakar memberikan sifat dasar yang menguatkan adanya
filsafat analitik, logis dan kritis.
Tujuan positivisme ilmiah adalah menghancurkan pandangan
filsafat dan metafisika, kecuali filsafat yang dapat menjadi fundasi bagi ilmu
pengetahuan obyektif-universal yang bersifat absolut. Prinsip positifisme logis
yang menyatakan batas-batas bahasa adalah batas dunia serta pandangan dunia
ilmiah positivisme yang bersifat mentalisme ilmiah, sesungguhnya adalah sebuah
spekulasi metaisik juga. Bila bahasa hanya terbatas pada pembahasan tentang
fakta-fakta atomis (dunia), maka pembahasan tentang batas-batas bahasa berada
diluar kompetensi bahasa itu.
Pandangan bahwa hanya pembuktian secara logis-empiris saja
yang diterima sebagai satu-satunya kebenaran ilmiah dan diluar itu harus
ditolak dan dihancurkan adalah satu pernyataan yang didasarkan bukan atas
pembuktian empiris-matematis sebagaimana tuntutannya.
Pandangan positivisme ini ditegakkan diatas kepercayaan
epistemologi dualis, dimana antara subyek (peneliti) dengan obyek (yang
diteliti) dapat dipisahkan secara ketat (dualisme epistemologis). Obyek yang
diketahui berbeda dengan subyek yang mengetahui dan tidak saling mempengaruhi
antara keduannya. Posisi peneliti dengan demikian bersifat pasif, artinya
subyek memikirkan dan mengetahui namun tidak berperan menciptakan atau
mengkontruksi obyek tersebut. Dengan cara itu, maka nilai-nilai dan bias
subyektivitas diasumsikan dapat dijamin tidak merembes dan mempengaruhi hasil
penelitian.
Richard Rorty (1980) dalam Akhyar (2004) menyatakan bahwa
rasionalisme, empirisme, kritisisme Kant dan positivisme adalah bentuk
fundasionalisme epistemologis, karena masing-masing mempercayai bahwa dengan
menggunakan metode itu maka kebenaran ilmu pengetahuan yang obyektif dan
universal dapat dicapai. Rorty, pascapositivis, dan postmodernis menolak
pandangan kaum positivisme logis.
Metode Ilmu Sosial dan Humaniora
Dalam abad ke-19 Auguste Comte telah menulis beberapa buah
buku yang berisi pendekatan-pendekatan umum untuk mempelajari masyarakat,
seperti padangannya dalam positivisme. Dia berpendapat bahwa ilmu pengetahuan
mempunyai urut-urutan tertentu berdasarkan logika, dan bahwa setiap penelitian
dilakukan melalui tahap-tahap tertentu untuk kemudian mencapai tahap akhir
yaitu ilmiah. Termasuk penelitian-penelitian tentang kemasyarakatan sehingga
perlu berdiri sendiri.
”Sosiologi” (1839) waktu itu berasal dari kata latin
”socius” yang berarti ”Kawan” dan kata Yunani logos yang berarti ”Kata” atau
”berbicara”. Jadi sosialogi berarti berbicara mengenai masyarakat, bagi Auguste
Comte, maka sosialogi merupakan ilmu pengetahuan kemasyarakat umum yang
merupakan hasil terakhir daripada perkembangan ilmu pengetahuan. Sosiologi
lahir pada saat-saat terakhir perkembangan ilmu pengetahuan, oleh karena
sosiologi didasarkan pada kemajuan-kemajuan yang telah dicapai oleh ilmu-ilmu
pengetahuan lainnya, selanjutnya Comte berkata bahwa sosilogi harus dibentuk
berdasarkan pengamatan dan tidak pada spekulasi-spekulasi perihal keadaan
masyarakat. Hasil-hasil observasi tersebut harus disusun secara sistematis dan metodologis,
tetapi disini sayang sekalai Comte tidak mejelaskan bagaimana caranya menilai
hasil-hasil pengamatan kemasyarakatan tersebut. Lahirnya sosiologi tercatat
pada 1842, tatkala Comte menerbitkan jid terakhir dari bukunya yang berjudul
Positive-Philosophy yang terkenal waktu itu.
Manusia sebenarnya diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa
sebagai makhluk yang sadar. Kesadaran manusia itu dapat disimpulkan dari
kemampuannya untuk berfikir, berkehendak dan merasa. Dengan fikirannya manusia
mendapatkan (ilmu) pengetahuan; dengan kehendaknya manusia mengarahkan
perilakunya; dan dengan perasaannya manusia dapat mencapai kesenangan. Sarana
untuk memelihara dan meningkatkan ilmu pengetahuan yang dinakan logika,
sedangkan sarana-sarana untuk memelihara serta meningkatkan pola perilaku dan
mutu kesenian, masing-masing disebut etika dan estetika dan apabila pembicaraan
dibatasi pada logika, maka hal itu merupakan ajaran yang menunjukan bagaimana
manusia berfikir secara tepat dengan berpedoman pada ide kebenaran.
Ilmu-ilmu sosial dinamakan demikian, oleh karena ilmu-ilmu
tersebut mengambil masyarakat atau kehidupan bersama sebagai obyek yang
dipelajarinya. Ilmu-ilmu sosial belum mempunyai kaidah-kaidah dan dalil-dalil
tetap yang diterima oleh bagian terbesar masyarakat, oleh karena ilmu-ilmu
tersebut belum lama berkembang, sedangkan yang menjadi obyeknya adalah
masyarakat manusia yang selalu berubah-ubah. Karena sifat masyarakat yang
selalu berubah-ubah, hingga kini belum dapat diselidiki dan dianalisis secara
tuntas hubungan antara unsur-unsur di dalam masyarakat secara lebih mendalam.
Istilah sosial (social) pada ilmu-ilmu sosial mempunyai arti
yang berbeda dengan misalnya istilah sosialisme atau istilah sosial, masyarakat
yang menjadi obyek ilmu-ilmu sosial dapat dilihat sebagai sesuatu yang terdiri
dari beberapa segi; segi ekonomi, kehidupan dan lainnya. Dan kalau dilihat dari
perkembangan manusia bahwa manusia berkembang dari unsur-unsur tradisional dan
modern, ini semakin menguatkan bahwa ilmu sosial merupakan ilmu yang sulit
untuk diikuti karena selalu berkembang dan bermacam-macam segi bagik sifat dan
cara kehidupan manusia.
Beberapa perbedaan
Telah diketahui bahwa terdapat beberapa perbedaan dari
metode ilmu positivisme atau mungkin lebih populer dengan ilmu pengetahuan alam
dan metode ilmu sosial dan humaniora.
- Obyek dari ilmu yang berbeda bila ilmu alam atau positivisme mempunyai obyek alam sedangkan ilmu sosial berorientasi pada kehidupan manusia atau masyarakat
- Telah diketahui bahwa sosiologi adalah suatu ilmu sosial dan bukan merupakan ilmu pengetahuan alam ataupun ilmu pengetahuan kerohanian. Perbedaan tersebut bukanlah mengenai metode, akan tetapi menyangkut pembedaan isi, yang gunanya untuk membedakan ilmu-ilmu pengetahuan yang bersangkut-paut dengan gejala-gejala alam dengan pengetahuan yang berhubungan dengan gejala-gejala kemasyarakatan. Khususnya, pembedaan tersebut diatas membedakan sosiologi dari astronomi, fisika, geologi, biologi dan lain-lain ilmu pengetahuan alam yang dikenal.
- Sosiologi (ilmu sosial)buka merupakan disiplin yang normatif akan tetapi suatu disiplin yang kategoris, artinya sosilogi membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini dan bukan mengenai apa yang terjadi atau seharusnya.
- Sosiologi (ilmu sosial)merupakan ilmu pengetahuan yang murni dan bukan merupakan ilmu pengetahuan terapan atai terpakai.
- Sosiologi (ilmu sosial) merupakan ilmu pengetahuan yang abstrak dan bukan merupakan ilmu pengetahuan yang konkrit, artinya bahwa yang diperhatikan adalah bentuk dan pola-pola peristiwa dalam masyarakat tetapi bukan wujudnya yang konkrit.
- yang dihasilkan dari ilmu sosial adalah pengertian-pengertian dan pola-pola umum. Sosiologi meneliti dan mencari apa yang menjadi prinsip atau hukum-hukum umum dari interaksi antar manusia dan juga perihal sifat hakikat, bentuk, isi dan struktur masyarakat/manusia.
- Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang empiris dan rasional, ciri tersebut menyangkut soal metode yang dipergunakannya.
Dan bila dilihat perbedaan dari kelompok ilmu sosial-humaniora
secara singakta sudah dijelaaskan yaitu subyek-obyek adalah manusia dan
masyarakat, sedangkan metode yang ada dari ilmu sosial-humaniora adalah
empiris, deduktif, induktif, intuitif, fenomenologis, dan hermeneutis dan ilmu
sosial mempunyai tujuan eksplanasi, kualitatif dan verstehen.
Pada perkembanganya saat ini bahwa positivisme mendapat
kritik/penolakan, yaitu: 1) penekanan pada generalisasi dan universalitas
teori, hingga akibatnya ilmu mengabaikan konteks sosial budaya, padahal teori
sosial bidaya tidak dapat dilepaskan dari konteksnya, 2) positivisme
mengabaikan makna dan tujuan penelitian, sementara penelitian tengtang tingkah
laku manusia tidak dapat dipahami tanpa mengacu pada makna, tujuan, motivasi,
3) penekanan positivisme pada teori agung (grand theories, grand-narrative)
sehingga mengabaikan konteks lokal, 4) positivisme menekankan pencarian hukum
alam (ilmu nomotesis); sementara ilmu sosial budaya lebih bersifat idiolografis
(pencarian keunikan/kekhasan suatu peristiwa), 5) positivisme hanya menekankan
konteks pembenaran, sehingga mengabaikan konteks penemuan.
Masih terdapat perbedaan-perbedaan lain yang berkaitan
dengan metode ilmu positivisme dan metode ilmu sosial dan humaniora, yang masih
merupakan fenomena yang dapay berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan
soail masyarakat dan selama manusia masih berinteraksi dan mampu mengembangkan
metode yang masih terus berkembang.
Penutup
Semua bentuk metode ilmu pengetahuan mempunyai ciri-ciri
masing-masing demikian juga metode ilmu positivisme dengan metode ilmu
sosial-humaniora, ciri-ciri tersebut yang membedakan keduanya mempunyai tujuan
yang berbeda pula , aplikasi dari kedua metode tersebut memberikan
bentuk-bentuk langkah dari bagaimana melakukan pengemabnagn ilmu-ilmu tersebut.
Positivisme menyatakan bahwa obyek individu rasional,
mengikuti hukum alam dan tidak memiliki kebebasan kehenadak sedang pada metode
ilmu sosial sangat berbeda bebas sesuai kehenadak dan manusia sebagai makhluk
sosial dan bermasyarakat, sedangkan tujuan dari positivisme adalah penjalasan
fakta, kausalitas, meramalkan, obyektif, menekankan prediksi dan kontrol.
Ilmu humaniora atau sosial merupakan pemahaman bagaimana
fenomena manusia yang dipandang memiliki keunikan, kesadaran, makna dan tujuan
hidup, tidak statis, memiliki kebebasan memilih untuk bertindak, sulit
dikontrol dan mudah dipengaruhi lingkungan sosial-budaya. Dan dengan ini
tingkah laku manusia tidak ditentukan hukum-hukum alam yang universal, tingkah
laku manusia adalah tingkah laku yang bertujuan bermakna.
Daftar Pustaka
Akhyar Yusuf Lubis (2004). Filsafat Ilmu Metodologi
Posmodernis: Cimangis, Bojong gede: Akademia.
Soerjono soekanto (1990). Sosiologi suatu pengantar:
Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada:
0 comments:
Post a Comment