Gereja
Reba Place adalah jemaat yang beranggotakan 300 orang yang terletak di Evanston
Illinois, dan merupakan anggota dari Gereja Menonit dan Gereja Brethren.
Komunitas ini didirikan oleh anggota Menonit Eropa Amerika pada awal 1960an dan
berlokasi di perkotaan dengan tujuan untuk dapat mengatasi masalah
individualism, materialism dan kekerasan yang berasal dari budaya yang mendominasinya.
Populasi yang
ada disekitar gereja merupakan campuran dari masyarakat Afrika Amerika dan
Eropa Amerika, ditambah dengan imigran Latin dan Kamboja yang terus meningkat
jumlahnya. Gereja ini juga terdiri dari kelompok masyarakat kelas menengah dan
berpendidikan. Akan tetapi, masyarakat di sekitarnya juga memiliki latar
belakang ekonomi, kelas dan pendidikan yang beragam.
Visi awal dari
Gereja Reba Place adalah memelihara kehidupan masyarakat sekitarnya dan
mengundang mereka untuk bersekutu bersama. Oleh karena itu, maka mereka
mendirikan pusat penitipan dan bangunan apartemen untuk melayani masyarakat
sekitarnya. Ketika telah terjalin keakraban dengan masyarakat sekitarnya, maka
gereja-gereja Afrika Amerika mulai bergabung dengan Reba Place melalui kelompok
paduan suara dan pertukaran pelayanan serta pelayanan bagi masyarakat
sekitarnya.
Pada musim
panas 1991, didirikan sekolah minggu khusus dewasa yang menitikberatkan pada
rekonsiliasi rasial. Kegiatan ini beranggotakan 40 orang. Setelah adanya
sharing yang mendalam serta pendidikan yang jelas, maka terbentuklah 4 kelompok
jemaat kecil yang disebut “Kelompok Harapan Hidup” yang berdoa untuk
rekonsiliasi dan keadilan rasial dan mendengarkan petunjuk Roh Tuhan. Beberapa
hasil dari kegiatan ini adalah:
·
Kelompok rekonsiliasi rasial mulai melakukan pertemuan
setiap minggu untuk berdoa, berdiskusi dan berbagi pendapat tentang pelaksanaan
rekonsiliasi rasial;
·
Pendeta Afrika Amerika dijadikan salah satu dari
keempat tua-tua Reba Place, kemudian melakukan hubungan dengan gereja lain
serta mulai bergabung dengan masyarakat sekitar.
·
Kelompok paduan suara gereja tidak hanya bernyanyi di
gereja Reba Place, tetapi juga diundang untuk bernyanyi di gereja lain atau di
universitas sekitarnya, di pertemuan regional denominasional, dan
perayaan-perayaan yang diadakan di taman distrik.
·
Kelompok yang terdiri dari 4 orang (dua perempuan dan
2 laki-laki, termasuk 2 Afro Amerika dan Eropa Amerika) menerima pelatihan
tentang pendidikan dan pengorganisasian antirasisme.
·
Mulai menawarkan workshop tentang antirasisme, yang
dimulai dengan kelompok rekonsiliasi rasial dan kelompok kepemimpinan.
·
Setiap minggunya kelompok kecil mulai didorong untuk
mempelajari dan menindaklanjuti kegiatan rekonsiliasi dan keadilan rasial
(sebagai contoh, satu kelompok ditugaskan dalam kegiatan antirasisme sementara Lent
dan kelompok pria bertugas mempelajari buku Enter the River).
·
Lima orang Afro Amerika diundang untuk bergabung dalam
komite kepemimpinan yang beranggotakan 9 orang.
·
Pelayanan ibadah juga diubah, dan mulai digunakan juga
pelayanan ibadah dengan pola Afro Amerika.
·
Kotbah yang disampaikan juga lebih banyak menyinggung
tentang rekonsiliasi rasial.
·
Ibadah minggu malam yang diadakan di taman kota mulai
banyak didominasi oleh anggota jemaat Afro Amerika.
·
Jemaat juga dapat memilih salah satu anggota jemaat
Afro Amerika sebagai dewan distrik lokal.
·
Pelayanan peribadatan juga merayakan perjalanan menuju
kearah keadilan dan rekonsiliasi rasial dan terus mengidentifikasi
tantangan-tantangan yang masih akan terus ada.
Usaha rekonsiliasi ini terus
dilakukan dalam hidup dan pelayanan Gereja Reba Place. Komunitas iman ini
menjadi lebih terintegrasi secara rasial dan orang-orang Afro Amerika terlibat
secara aktif dalam pengambilan keputusan dan kepemimpinan di gereja. Proses
pengambilan keputusan juga berubah, bahkan mulai bertentangan dengan pola
tradisional.
Persahabatan
mulai berkembang antar ras. Kegiatan dan program-programnya juga disusun
berdasarkan tujuan keadilan dan rekonsiliasi rasial. Kurikulum pendidikan
Kristen juga dievaluasi kembali dan rencana pelayanan pemuda juga lebih
memprioritaskan tentang penghilangan rasisme. Masalah keadilan dan rekonsiliasi
rasial ini juga menjadi bagian dari kegiatan penginjilan dan pemuridan melalui
kelompok-kelompok tumbuh bersama. Misi gereja dan pelayanan kemasyarakatan juga
dikembangkan berdasarkan survey atas kebutuhan masyarakat sekitar, melalui
pembelian bangunan lain bagi penduduk berpendapatan rendah, dan melalui program
pelajaran setelah sekolah bagi siswa-siswa sekolah dasar. Ibadahnya juga telah
diubah menjadi lebih menggambarkan secara imani tentang kenyataan adanya
keberbedaan dan kepemilikan. Seluruh proses ini seringkali mengharuskan gereja
berhadapan dengan konflik dan tekanan untuk mencampurkan antara rekonsiliasi
dan perdamaian dengan pencarian keadilan.
Jumlah
kepemilikan pada level akar rumput yang signifikan membuat jemaat ini dapat
maju dengan pesat. Langkah awal ini dianggap sebagai cara yang baik untuk
menghidupkan visi gereja Reba Place. Beberapa pemimpin mencatat bahwa cara-cara
yang telah berjalan ini telah memberikan jalan bagi munculnya inovasi-inovasi
tanpa menimbulkan hasil yang mengecewakan. Mereka membutuhkan wadah yang baru
untuk inovasi yang baru juga.
Cerita
tentang perjalanan gereja Reba Place menuju kea rah keadilan dan rekonsiliasi
rasial menggambarkan tantangan dan kesempatan bagi pendidikan jemaat yang
berorientasi pada transformasi personal dan social. Gereja juga perlu
berhadapan dengan kemiskinan yang terus bertambah, ketidaksetaraan,
ketidakadilan ekonomi, kekerasan dan militerisme, diabaikannya sekelompok orang
tertentu, system peradilan yang tidak adil, dan struktur lain yang
mendiskriminasi, memarjinalkan, menekan dan mengasingkan. Selanjutnya, gereja
juga harus terus menerus menghadapi manifestasi ketidakadilan dan penderitaan
dalam pergumulannya.
Beberapa
asumsi juga akan diuraikan dalam bab ini. Pertama, Injil Allah yang diajarkan dan
ditinggalkan oleh Yesus di dunia ini
bersifat transformative. Iman Kristen harus berperan aktif dalam
perubahan masyrakat dan budaya. Kedua, pelayanan pendidikan di gereja bersifat
mutlak. Ketiga, pendidikan jemaat harus dilandaskan pada dasar
alkitabiah-teologis yang menyangkut tentang pembebasan, keadilan dan
perdamaian.
TUJUAN: LAHIRNYA
MANUSIA DALAM TERANG TUHAN
Tujuan
menyeluruh dari pendidikan Kristen, yang berorientasi pada keadilan, harus
konsisten dengan pelayanan gereja bagi dunia. Pendidikan Kristen ditengah
jemaat meliputi dukungan terhadap lahirnya
manusia dalam terang Tuhan.
“Dukungan terhadap
lahirnya manusia”. Istilah dukungan ini
mengacu pada gaya didikan Yesus – dengan cara menjadi sama dan berjalan bersama
manusia yang ditandai dengan cara-cara yang penuh kasih, keterlibatan yang
penuh, pemberdayaan yang penuh kelembutan, dan undangan yang penuh kemurahan ke
dalam sebuah persekutuan dan komunitas. Dukungan ini bersifat mendorong,
memampukan dan mengarahkan, yang sifatnya bertentangan dengan sifat otoriter,
paternalistic dan manipulative dalam mendidik.
Kita
menjadi rekan sekerja Roh Tuhan yang bekerja didalam dan melalui kita. Dengan
kata lain, bukan kita yang mempengaruhi kebebasan, keadilan, pertumbuhan dan keutuhan,
tetapi Tuhan, seperti yang diuraikan oleh Paulus di dalam 1 Kor 3:5-11. Akan
tetapi, Tuhan juga mengundang kita untuk berpartisipasi sebagai hasil karya
baru dalam mendukung kemunculan manusia.
Munculnya manusia menunjukkan suatu
proses untuk menjadi “lebih manusiawi” dipandang dari sudut anugrah dan janji
Tuhan atas kebebasan dan keutuhan, hidup berdasarkan kerangka etik, politik dan
eskatologi dari kuasa Allah. Sehingga proses “kemunculan” ini menggunakan
proses formasi dan transformasi yang holistik. Formasi adalah pertumbuhan dan
pendewasaan secara bertahap; tranformasi
adalah proses yang melibatkan perubahan dan krisis yang radikal, seringkali
ditandai sebagai konversi, yang
menyebabkan reorientasi dari iman dan hidup seseorang maupun komunitasnya.
Jadi, formasi dan transformasi dalam situasi kehidupan ini akan saling terjalin
dan pelayanan pendidikan jemaat mendukung munculnya manusia melalui kedua cara
ini.
“Dalam terang kuasa Tuhan”. Ada banyak
pandangan tentang kemunculan manusia, tetapi dalam sudut pandang pelayanan
pendidikan dalam bab ini lebih mengacu pada visi etis, politis dan eskatologis
dari kedaulatan Allah. Kuasa Tuhan adalah kunci dari pelayanan Yesus. Simbol
ini menekankan antara “yang sudah ada” (berkat yang sudah diterima, mimpi yang
sebagian sudah terealisasi) dan “yang belum ada” (janji) dari kuasa Allah.
Simbol ini juga mengajak gereja dan praktisi pendidikan yang membantu
perkembangan domestikasi.
Dari
sekian banyak cara yang dapat menstrukturisasi kehidupan social, ekonomi dan
politik, hanya sebagian saja yang sesuai dengan kehidupan gereja. Sebagai
contoh, di AS tumbuhnya kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin
memunculkan tantangan yang berat. Etika dan politik kasih dan “pilihan terbaik
bagi orang miskin” – istilah favorit bagi orang Kristen Latin Amerika – menjadi
kriteria yang bersifat alkitabiah-teologis untuk menilai system politik dan
ekonomi. Mencari dan memasuki tahta Tuhan berarti bahwa berkat, janji dan
tuntutan akan ciptaan baru menjadi kekuatan bagi suatu jemaat. Sederhananya, pendidikan
Kristiani harus berkaitan secara komprehensif dengan pelaksanaan Hukum Tuhan
tentang kasih Allah dan sesama.
Pendidikan
jemaat juga berperan penting dalam pembentukan
ciptaan baru dengan mendukung menculnya manusa dalam terang kuasa Tuhan
dalam beberapa cara yang saling berhubungan, yaitu: dengan cara membuka akses
tentang pengetahuan dan kasih Allah; dengan mengarahkan proses formasi dan
transformasi dalam hal pemuridan (mengikut Yesus Kristus) ditengah jemaat; dan
dengan memampukan seseorang untuk berpartisipasi dan tumbuh dalam iman
Kristennya sekaligus mendukung panggilan gereja untuk mengembangkan suatu
masyarakat yang lebih beriman dan transformasi social demi kebebasan, keadilan
dan perdamaian.
REKAN DALAM
PEMURIDAN: MURID DAN GURU
Pendidikan
Kristen untuk kebebasan, keadilan dan perdamaian sebenarnya bertentangan dengan
nilai-nilai yang mendominasi kehidupan masyarakat AS, seperti pencarian
prestasi, kemakmuran, individualism, kompetisi, konsumsi dan militerisme.
Pendidikan Kristen juga bertentangan dengan praktek-praktek gereja seperti
patriarki, moralisme, legalisme dan tidak adanya kasih. Di satu sisi,
pembentukan murid yang beriman dilakukan dengan cara yang bertentangan dengan
domestikasi – bertentangan dengan prinsip kepatuhan, keseragaman dan
keterlibatannya dengan struktur ketidakadilan,tekanan dan pengabaian. Di sisi
lain, pelayanan di bidang pendidikan membutuhkan partisipasi aktif sebagai
warga yang penuh kasih, keberanian dan keperdulian dalam terang kuasa Tuhan.
GURU SEBAGAI
SPONSOR/PENDUKUNG
Guru
sebagai sponsor adalah rekan yang setara dalam perjalanan kehidupan dan iman.
Melalui pengajaran, yaitu koordinasi dan kepemimpinan/proses pengajaran, para
guru terlibat dalam langkah awal yang penuh kasih, keterlibatan secarapribadi
yang penuh keterbukaan, pemberdayaan yang penuh kelembutan dan mengajak
muridnya untuk bekerjasama dan bermasyarakat. Sebagai sponsor, guru mendorong
muridnya untuk dapat mengakses tradisi, petunjuk dan kesanggupan iman.
Pandangan dari guru ini secara jelas menolak segala bentuk praktek-praktek
otoriter, paternalistic dan manipulasi dalam pelayanan pendidikannya.
Dengan kata lain, pendidikan Kristen
tentang keadilan dan perdamaian mengharuskan guru dapat mengajar dengan cara yang
adil dan penuh kedamaian
Thomas
Groome mengatakan bahwa para murid dianggap sebagai “agen sejarah yang bebas
dan bertanggungjawab” dan sebagai obyek utama dari kemunculan manusia bagi
dirinya sendiri. Para murid adalah makhluk awam yang diberi hak untuk berhubungan
penuh kasih dengan Allah, diri sendiri, orang lain dan ciptaan lainnya, mereka
juga dapat berbuat dosa atau menerima anugrah. Dasar alkitabiah-teologis dan
pendidikan ini menunjukkan bahwa guru dan mrid (serta pemimpin gereja lainnya)
perlu mengalami perubahan secara epistemology. Kenyataan hidup dapat terlihat
lebih jelas, dalam dan nyata jika kita focus pada situasi yang penuh dengan
tekanan, keterasingan dan penderitaan , dalam terang kuasa Allah. Kita belajar
untuk mendengarkan manifestasi iman pada orang-orang awam yang miskin,
tertekan, menjadi korban dan terpinggirkan baik di gereja maupun masyarakat.
Penderitaan manusia seringkali membantu kita untuk lebih memahami apa yang
sedag terjadi di sekitar kita – yaitu, apa yang tidak Tuhan inginkan (kurangnya
kasih, tidak adanya kemakmuran dan ketidakadilan) dan apa yang Tuhan inginkan
(kebebasan, kedamaian dan keutuhan). Para ahli teologi pembebasan
menggarisbawahi keistimewaan epistemology si miskin. Penegasan dan refleksi
yang distimulasi oleh penderitaan manusia seharusnya tidak membenarkan adanya
penderitaan, tetapi justru harus mendorong kita untuk memerangi dan
menguranginya. Dengan kata lain, tempat bagi luka atau penderitaan sebenarnya
dapat menjadi tempat bagi berkat dan wahyu yang baru.
TUMBUH DALAM
PEMURIDAN YANG BERTANGGUNGJAWAB
Pandangan-pandangan
yang terdapat pada bab ini merupakan kelanjutan dari sudut pandang
“rekonstruksionis” dan “sosiopolitik” dari pendidikan: Pendidikan meningkatkan
kesadaran para murid tentang kebutuhan transformasi komunal dan social dan
memampukan mereka untuk berpartisipasi dalam perubahan ini. Sebagian besar dari
apa yang diketahui oleh seseorang dipelajari melalui keterlibatan aktif dan
refleksi kritis,dialog dan tindakan yang difokuskan pada hal-hal penting dalam
kehidupan sehari-hari. Pendidikan bagi pertumbuhan adalah masalah yang harus
dihadapi, berdialog dengan para murid untuk menentukan masalah yang kita hadapi
dalam kehidupan sehari-hari.
Refleksi
teologis juga mendorong munculnya asumsi tentang pertumbuhan. Firman Tuhan
dalam Efesus 4:15, “kita harus bertumbuh dalam….Kristus” dapat diterapkan baik
untuk guru maupun murid. Panggilan Ilahi yang terangkum secara eksplisit
melalui Yesus Kristus mengundang kita ke dalam formasi dan transformasi yang
selaras dengan Tuhan yang hidup di dunia ini. Guru dan murid mengambil bagian
pada proses pertumbuhan dalam kegiatan pemuridan dalam pandangan Allah yang hidup, kebajikan Kristus, dan panggilan Roh
Kudus.
Pertumbuhan dalam visi tentang Allah yang
hidup secara sederhana diartikan sebagai cara melihat kenyataan dengan
sudut pandang Allah. Dengan tetap menghormati akan kehadiran Allah, akan dunia
di sekitar kita dan diri kita sendiri, kita mulai mendefinisikan apa arti
bertumbuh dalam pandangan Allah yang hidup. Penghormatan atas kehadiran sesuatu
adalah salah satu bentuk rasa hormat yang lain. Kita menghormati orang lain,
dan orang-orang asing yang seringkali disepelekan serta orang-orang yang
terpinggirkan. Dengan mengenal mereka maka kita dapat melihat misteri Allah.
Dengan
belajar menggunakan kacamata ketuhanan
untuk menghadapi dunia, kita melihat berdasarkan kepekaan Kristiani, dengan
kasih, dengan ketulusan dan sudut pandang yang khusus. Alkitab berulangkali
menunjukkan bahwa Tuhan seringkali memandang orang-orang yang terpinggirkan.
Tuhan member perhatian khusus pada penderitaan dan keterasingan manusia. Oleh
karena itu kami juga mengemukakan
pandangan lain: Penghakiman Allah dan panggilan pertobatan seringkali
menghadapi tantangan berat yaitu tradisi dan kebijakan konvensional. Dengan
demikian imajinasi kreatif kami juga berkembang, kami membayangkan masa depan
yang lebih baik berdasarkan janji kekal Allah. Melihat melalui pandangan Allah
membebaskan kita dari cara pandang yang salah dan membebaskan kita untuk
mendidik dan membangkitkan kesadaran alternative lainnya.
Pandangan
Allah yang hidup ini juga dapat berupa karakter yang tidak nyata dimana Allah
menginginkan kita dapat menghadapi kenyataan akan adanya kejahatan dan dosa.
Kuncinya adalah belajar untuk menerima, memahami dan menanggapi keberadaan dan
tindakan Tuhan di dunia sekitar kita maupun dalam hidup kita sendiri.
Pertumbuhan cara pandang ini secara khusus juga berhubungan dengan hidup peribadatan kita. Kecerdasan spiritual
ini adalah suatu cara untuk melihat secara mendalam yang merupakan “ujian iman”
melalui kehidupan doa kita.
Pertumbuhan dalam kebajikan Kristus, adalah
dimensi kedua dari kemunculan manusia yang terjadi ketika seseorang menjadi
serupa dengan hati Yesus Kristus. Konsep kebajikan
berarti integritas dan kekuatan moral, atau karakter moral. Kebajikan adalah
gambaran dari orientasi utama dimana kita mewujudnyatakan keyakinan dan
tindakan kita. Pertumbuhan dalam kebajikan, secara sederhana diartikan sebagai
formasi dan transformasi seseorang atau suatu komunitas yang sedang berlangsung
berdasarkan karakter dari Yesus Kristus. Ketika kita berpartisipasi dalam karya
Tuhan yang kreatif, membebaskan, memelihara dan memperbarui maka kita juga
belajar untuk memelihara dunia seperti yang telah dilakukan oleh Kristus.
Proses formasi dan trasformasi ini berjalan seumur hidup. Menurut istilah
Pauline, Kristus terbentuk di dalam dan diantara para murid; Kristus
menggambarkan suatu ekspresi historis yang unik pada seseorang sebagai individu
maupun dalam jemaat.
Kebajikan
dapat didefinisikan sebagai sifat dan sikap kita yang terdalam, yaitu
“kebiasaan hati” – kasih dan cinta yang dalam yang menggambarkan ekspresi cinta
Allah yang sesungguhnya dan cara hidup yang sesuai dengan kuasa Tuhan yang
membebaskan, adil dan damai. Oleh karena itu, seperti yang diutarakan oleh
Stanley Hauerwas, jenis karakter yang kita miliki ini berhubungan dengan jenis
komunitas dimana kita mewarisi symbol dan tindakan utama kita. Kebajikan
seperti cinta, kasih, ketulusan, kedamaian, keadilan, dan pengharapan menjadi
identitas yang tampak dalam hidup seseorang atau komunitas.
“Kebajikan-kebajikan” ini dapat diasah melalui praktek dan disiplin yang
dilakukan oleh gereja. Ringkasnya, pertumbuhan dalam kebajikan berarti “menjadi
lebih manusiawi” bersama dengan hati Kristus.
Pertumbuhan dalam panggilan Roh Kudus berarti
bahwa kita semakin berpartisipasi dalam hidup Tuhan di dunia ini. Panggilan ini
dapat dilihat melalui dua cara: 1) “panggilan” menunjuk pada panggilan Tuhan
terhadap partisipasi dan kerjasama manusia dalam tujuan dan aktivitas Allah
yang kreatif, membebaskan dan memelihara/memperbarui di dunia ini; dan 2) respon
manusia terhadap panggilan Allah dengan kehidupan kita secara total.
Dari
perspektif Kristiani, panggilan manusia ini tidak sekedar digambarkan dengan
pekerjaan, karir atau profesi seseorang, meskipun itu juga penting. James
Fowler mencoba memperjelas pandangan ini: Panggilan Tuhan menunjuk pada
perpaduan segala sesuatu yang meliputi hubungan kita, rekreasi dan kesenangan
kita, pekerjaan kita, kehidupan pribadi dan umum kita, serta anugrah, enerji,
waktu dan sumberdaya yang kita miliki. Panggilan
Tuhan berarti memfokuskan hidup kita dalam melayani Tuhan, mengasihi sesama dan
mencintai dunia ini. Panggilan ini memberikan tujuan yang lebih besar bagi
hidup kita; memberi integritas, semangat, keberanian dan arti bagi hidup kita.
Fowler
juga mengemukakan bahwa melalui suatu komitmen, kita memahami talenta dan
menemukan tempat dimana kita bisa menempatkan berkat ini sebagai pemberian
Tuhan yang memanggil kita sebagai manusia dan rekan sekerjaNya. Bertumbuh dalam
panggilan Tuhan berarti menemukan cara untuk menjadi dan hidup dalam dunia ini
yang sesuai dengan tujuan dan aktivitas Tuhan. Gagasan teologis tentang
trinitas membantu kita memahami panggilan kita di dunia ini: karya Tuhan adalah
mencipta, menebus dan mengatur dunia ini. Demikian juga dengan tugas kita. Metafora
dari Sallie McFague memaparkan kembali doktrin ini dengan cara yang dapat
dipahami dengan mudah. Dia mengajak kita untuk menggambarkan Allah sebagai
Orangtua (pencipta), Penyayang (menyelamatkan) dan Teman (memelihara). Sehingga
panggilan ini dapat dihubungkan dengan tugas-tugas untuk: (a) mengandung dan
melahirkan, memberi makan, merawat, mengasuh, membimbing; (b) membebaskan,
menyembuhkan, memulihkan, mendamaikan, memanusiakan; dan (c) menyediakan diri, menemani,
menguatkan, melayani, membela.
Yang
menjadikan misi gereja ditengah
sejarah adalah cara utama kita bertumbuh dalam panggilan Roh Kudus. Ringkasnya,
kita menjadi “lebih manusiawi” jika kita berpartisipasi dalam karya Tuhan di
dunia ini yang bersifat kreatif, membebaskan dan memperbarui. Pemuridan dan
kewarganegaraan harus terintegrasi. John Coleman menyatakan bahwa
kewarganegaraan ini secara signifikan juga dapat meningkatkan kualitas
pemuridan: (1) hal ini semakin memperluas jangkauan solidaritas Kristiani
dengan megingatkan gereja bahwa berkat Tuhan menjangkau sampai keluar garis dan
bahwa komunitas iman ini didirikan bagi dunia;
(2) dalam realitas politik saat ini, hal kewarganegaraan ini mengajarkan
kerendahan hati sehingga warga Kristiani bisa belajar cara berbagi
tanggungjawab dan solidaritas; dan (3) hal ini menggambarkan suatu ujian yang
nyata, landasan bagi orang-orang Kristen yang mengakui adanya berkat dan
penebusan yang bersifat mendunia, membebaskan dan memulihkan sehingga
orang-orang Kristen dapat menaruhkan pengharapannya bagi masa depan yang sudah
diubahkan, suatu ciptaan baru yang didasarkan pada kuasa Kristus yang telah
bertransformasi.
PROSES: PERJALANAN
HIDUP DAN IMAN
Komitmen
terhadap etika dan politik Allah merupakan panggilan untuk kembali memusatkan
perhatian pada pendidikan jemaat. Dorongan terhadap transformasi komunal dan
masyarakat demi kebebasan, keadilan dan perdamaian berakar di dalam jemaat.
Pelayanan pendidikan berfokus pada analisis social, bentuk dan ekspresi
kekuasaan, manifestasi dari suatu tekanan dan penderitaan demikian juga dengan
perjuangan untuk kebebasan dan keadilan, peranan dari minat dan ideology,
dinamika dari konflik social serta kemungkinan dan tantangan dari organisasi
kemasyarakatan.
Pelayanan
pendidikan juga berorentasi pada perubahan social demi kebutuhan akan keadilan
bagi proses belajar dan mengajar yang transformative. Lebih dari sekedar
perubahan pedagogic, tetapi juga perubahan yang memberi arah bagi misi gereja
di dunia ini.
Pelayanan
pendidikan yang berorientasi pada keadilan mempunyai 3 gerakan penting:
pengamatan, penilaian dan tindakan. Ketiga gerakan ini menjadi moen kunci bagi
proses teologis dan pendidikan di gereja.
1. Pengamatan yang dilakukan di dunia yang
nyata ini lebih difokuskan ada penderitaan dan tekanan terhadap umat manusia. Dengan
kata lain, pendidikan Kristiani harus dilakukan melalui penilaian social dan
budaya yang cermat. Sehingga analisis ini harus benar-benar dilihat dari
perspektif dan penantian orang-orang yang sedang mengalami kekurangan dan
penderitaan. Tujuannya adalah untuk menemukan dan memahami karakter dan penyebab
ketidakadilan dan juga untuk memahami sifat dan dinamika keadaan yang telah
menimbulkan, mempertahankan dan mengembangkan ketidakadilan. Jika kita
memandang ketidakadilan dan penindasan sebagai manifestasi dari dosa, sebagai
pengasingan dari Tuhan dan manusia, maka kita harus berusaha menghadapi dan
mengubahnya. Pengamatan ini tidak dilakukan pada kondisi sikap yang netral, hal
ini dilakukan sebagai komitmen atas pembebasan dan keadilan dari semua
partisipan, termasuk keinginan untuk melakukan transformasi secara nyata.
2. Penilaian ini terdiri dari upaya untuk
memahami kehendak Tuhan dalam situasi historis yang konkrit. Ini adalah tugas
yang harus diemban secara serius dan penuh kerendahan hati, karena kita sedang
mencari tahu apa yang dipikirkan Tuhan (atau bahkan untuk menemukan impian Tuhan). Kami menjelaskan
praktek-praktek Kristiani dengan melihat realitas sejarah secara konkret dalam
terang wahyu Tuhan - penafsiran Alkitab
kembali dan partisipasi Roh Tuhan dala prosesnya – dan sumber iman dan tradisi
Kristiani lainnya (seperti pengajaran gereja tentang kebebasan, perdamaian dan
keadilan). Penilaian ini membantu kita untuk menemukan hubungan yang konkrit
antara situasi social saat ini dan ajaran tentang kuasa Tuhan sehingga koneksi
ini dapat menghubungkan antara struktur social dan realitas personal maupun
komunal.
3. Tindakan terdiri dari pemeriksaan,
pelaksanaan dan evaluasi kegiatan-kegiatan operasional yang sesuai dengan
harapan manusia akan kebebasan dan pengungkapan kehendak Tuhan bagi kelahiran
dan keutuhan manusia. Dari sudut pandang pengetahuan alkitabiah, kebenaran akan
muncul dari tindakan-tindakan yang benar (yaitu melakukan hal yang benar dalam
terang Tuhan) dan kebenaran juga akan terlihat melalui tindakan-tindakan ini.
Pendidikan Kristen harus terdiri dari tindakan dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pengamatan
berorientasi pada analisis social, atau memahami dunia dengan perhatian utama
pada keadilan dan keadaan yang menyedihkan dari penderitaan manusia, sebagai
contoh, karena kemiskinan atau diskriminasi rasial. Interpretasi atau penilaian
berhubungan dengan “dunia Tuhan” – dunia dimana Tuhan berkuasa – dengan tujuan
untuk mengetahui rancangan Tuhan demi keutuhan manusia. Dalam hal tindakan,
pendidikan Kristen harus muncul dari praktek-praktek Kristiani, “iman yang
bekerja melalui kasih”.
Proses
pendidikan yang transformative berlangsung melalui cara-cara yang induktif dan
dialektik: setiap langkah saling berhubungan dengan langkah lainnya.
Pelaksanaan teologi merupakan proses refleksi yang kritis dan konstruktif (yaitu,
pengamatan) terhadap praktek iman Kristen di tengah sejarah (yaitu,
tindakan)dalam terang Firman Tuhan (yaitu, penilaian). Dengan kata lain,
pelaksanaan ini harus dilakukan dalam dimensi metode teologis yang mutlak,
sehingga pelaksanaan yang bertanggung jawabpun harus dilakukan dalam proses
belajar mengajar yang transformative.
Penyadaran. Istilah “penyadaran” ini
sebenarnya pertama kali diungkapkan oleh Paulo Freire di Amerika Latin dalam
konteks pendidikan populer yang terinspirasi oleh pendidikan Kristen, dan
didefinisikan sebagai suatu proses belajar dan mengajar yang memberikan
kebebasan bagi transformasi personal dan social. Jadi istilah penyadaran ini
menunjuk pada suatu proses refleksi kritis dimana manusia menjadi sadar akan kekuatan
sejarah yang membentuk hidupnya, bersama dengan potensi kebebasan dan
kreatifitas yang telah diberikan Tuhan bagi dirinya. Istilah ini juga
menunjukkan pergerakan yang actual ke arah pembebasan dan lahirnya manusia
dalam diri pribadi, komunitas dan masyarakat. Dalam kelompok kecil, dengan cara
dialogis dan kolaboratif, manusia berbagi cerita, pengalaman, harapan dan
impiannya. Melalui pengenalan akan masalahnya, mereka berusaha bersama-sama
dalam refleksi kritis dan kreatif pada situasi hidup yang nyata dan juga secara
aktif mencari alternative-alternatif terbaik dengan dituntun oleh terang kuasa
Tuhan.