Pendahuluan
Pengertian Kebenaran
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kebenaran
merupakan kata benda yang berarti 1). keadaan (hal dsb.) yang cocok dengan keadaan (hal) yang
sesungguhnya; 2). keabsahan; kecocokan (keadaan dsb.)
dengan yang sesungguhnya; 3). sesuatu
yang sungguh-sungguh (benar-benar) ada; 4).
kejujuran; ketulusan hati.[1]
Kata “kebenaran” menurut Abas Hamdani M.[2]
dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang konkret maupun abstrak. Jika subyek hendak menuturkan kebenaran
artinya adalah proporsi yang benar. Proporsi maksudnya adalah makna yang
terkandung dalam suatu peryataan atau statement. Apabila subyek menyatakan
kebenaran bahwa proporsi yang diuji itu pasti memiliki kualitas, sifat atau
karakteristik, hubungan, dan nilai. Hal yang demikian itu karena kebenaran
tidak dapat begitu saja terlepas dari kualitas, sifat, hubungan, dan nilai itu
sendiri.
Abas
Hamdani M[3],
menjelaskan bahwa kebenaran berkaitan dengan beberapa hal: Pertama, Kebenaran berkaitan dengan kualitas pengetahuan. Artinya
bahwa setiap pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang yang mengetahui suatu obyek ditilik dari jenis pengetahuan
yang dibangun. Maksudnya apakah pengetahuan
itu berupa:
Pengetahuan biasa atau biasa disebut knowledge
of the men in the street atau ordinary knowledge atau common sense knowlwdge. Pengetahuan
seperti ini memiliki kebenaran yang bersifat subyektif.
Pengetahuan ilmiah, yaitu pengetahuan yang telah menetapkan obyek yang
khas atau spesifik dengan menerapkan metodologis yang khas, artinya metodologi
yang telah mendapatkan kesepakatan dari antara para ahli yang sejenis.
Kebenaran yang terkandung dalam pengetahuan ilmiah bersifat relatif, maksudnya kandungan
kebenaran dari jenis pengetahuan ilmiah selalu mendapatkan revisi yaitu selalu
diperkaya oleh hasil penemuan yang paling akhir.
Pengetahuan filsafati, yaitu jenis pengetahuan yang pendekatannya
melalui metodologi pemikiran filsafati, yang sifatnya mendasar dan menyeluruh
dengan model pemikiran yang analitis, kritis dan spekulatif. Sifat kebenarannya
adalah absolute-intersubyektif, maksudnya adalah nilai kebenaran yang
terkandung jenis pengetahuan filsafat selalu merupakan pendapat yang selalu melekat
pada pandangan filsafat seorang pemikir filsafat itu selalu mendapat pembenaran
dari filsuf kemudian yang menggunakan metodologi pemikiran yang sama pula. Jika
pendapat filsafat itu ditinjau dari sisi lain artinya dengan pendekatan
filsafat yang lain sudah dapat dipastikan hasilnya akan berbeda atau bahkan
bertentangan atau menghilangkan sama
sekali.
Kebenaran pengetahuan yang
terkandung dalam pengetahuan agama. Pengetahuan agama memiliki sifat dogmatis,
artinya penyataan dalam suatu agama selalu dihampiri oleh keyakinan yang telah tertentu sehingga
pernyataan-pernyataan dalam ayat-ayat kitab suci agama memiliki nilai kebenaran
sesuai dengan keyakinan yang digunakan untuk memahaminya itu. Implikasi makna
kandungan kitab suci itu dapat berkembang secara dinamik sesuai dengan
perkembangan waktu, akan tetapi kandungan maksud ayat kitab suci itu tidak dapat
diubah dan sifatnya absolut.
Kedua,
kebenaran dikaitkan dengan sifat atau karakteristik dari bagaimana cara
atau dengan alat apakah seseorang membangun pengetahuannya. Ia membangunnya
dengan penginderaan, atau akal pikir, atau ratio, intuisi, atau keyakinan. Implikasinya adalah akan
mengakibatkan karakteristik kebenaran yang dikandung oleh pengetahuan itu akan memiliki cara tertentuuntuk
membuktikannya, artinya jika seseorang membangunnya melalui indera maka pada
saat ia membuktikan kebenaran pengetahuan ia harus melalui indera pula. Jenis
pengetahuan menurut criteria karakteristiknya dibedakan dalam jenis pengetahuan
(1) pengetahuan inderawi, (2) pengetahuan akal budi, (3) pengetahuan intuitif,
(4) pengetahuan kepercayaan atau pengetahuan otoritatif.
Ketiga. Kebenaran pengetahuan yang dikaitkan atas ketergantungan
terjadinya pengetahuan itu. Artinya bagaimana relasi atau hubungan antara
subyek dan obyek, manakah yang dominan
untuk membangun pengetahuan itu, subjekkah atau objek. Jika subjek yang
berperan maka jenis pengetahuan itu mengandung nilai kebenaran dari pengetahuan
yang dikandungnya itu amat tergantung pada subjek yang memilikipengetahuan itu.
Atau jika objek amat berperan maka sifatnya objektif, seperti pengetahuan
tentang alam.
Pengertian Ilmiah
Dalam
Kamus Bahasa Indonesia kata ilmiah (kata
benda) diartikan: secara ilmu pengetahuan; sesuai dengan
syarat atau hukum ilmu pengetahuan.[4]
Menurut Archie J. Bahm[5],
masalah disebut ilmiah apabila sekurang-kurangnya memiliki tiga ciri, yaitu dapat
dikomunikasikan (communicability),
dapat ditangani dengan sikap ilmiah (scientific
attitude) dan dengan metode ilmiah (scientific
method).
Selanjutnya
Archie J. Bahm menjelaskan ketiga hal
tersebut sebagai berikut:
Masalah akan menjadi ilmiah jika dikomunikasikan.
Sikap ilmiah meliputi lima ciri utama, yaitu: keingintahuan,
kespekulatifan, kemauan untuk obyektif, kemauan untuk menunda keputusan, dan
bersifat sementara.
Metode Ilmiah. Ada lima tahap, yaitu: kesadaran akan adanya masalah, memeriksa
masalah., mengusulkan penyelesaian menguji usulan dan pemecahan masalah.
Kebenaran
Ilmiah
Dalam sejarah filsafat, sekurang-kurangnya ada empat
teori kebenaran, yaitu a) teori kebenaran sebagai persesuaian (the correspondence theory of truth), b)
teori kebenaran sebagai keteguhan (the
coherence theory of truth), c) teori pragmatis tentang kebenaran (the pragmatic theory of truth), d) teori
performatif tentang kebenaran (the performative
theory of truth)[6].
Teori
kebenaran sebagai persesuaian (the
correspondence theory of truth)
Menurut teori ini, kebenaran
adalah soal kesesuaian antara apa yang diklaim sebagai diketahui dengan
kenyataan yang sebenarnya. Benar dan salah adalah soal sesuai tidaknya apa yang
dikatakan dengan kenyataan apa adanya. Kebenaran terletak pada kesesuaian antara sunjek dan objek, yaitu apa yang diketahui
subjek dan relaitas sebagaimana adanya. Kebenaran ini juga disebut sebagai
kebenaran empiris karena kebenaran suatu pernyataan, proposisi, atau
teori ditentukan oleh apakah pernyataan, preposisi, atau teori itu didukung
fakta atau tidak. Contoh: “Bumi Itu
Bulat.” Hal-hal yang perlu dicatat sehubungan dengan teori ini adalah: Pertama, teori ini sangat ditekankan
oleh aliran empirisme yang mengutamakan pengalaman dan pengamatan inderawi
sebagai sumber utama pengetahuan manusia. Kedua.teori
ini cenderung mengaskan dualitas antara subjek dan objek, antara sipengenal dan
yang dikenal. Ketiga, teori ini
sangat menekankan bukti bagi kebenaran suatu pengetahuan. Bukti ini bukan pula
hasil imajinasi akal budi, melainkan adalah apa yang diberikan dan disodorkan
oleh objek yang dapat ditangkap oleh panca indra manusia.
Teori
kebenaran sebagai keteguhan (the
coherence theory of truth)
Menurut teori ini kebenaran
ditentukan dalam relasi antara proposisi baru dengan proposisi yang sudah ada.
Pengetahuan, teori, pernyataan, proposisi atau hipotesis dianggap benar jika
sejalan dengan pengetahuan, teori, proposisi atau hipotesis lainnya. Dengan
kata lain penyataan benar jika penyataan itu cocok dengan sistem pemikiran yang
sudah ada. Misalnya: (1) Semua manusia pasti mati. (2) Sokrates adalah manusia.
(3) Sokrates pasti mati. Kebenaran (3)
hanya merupakan implikasi logis dari
system pemikiran yang sudah ada, yaitu bahwa (1) semua manusia pasti mati. Dan
(2) Sokrates adalah manusia. Hal-hal yang perlu dicatat dalam teori ini adalah:
Pertama, teori ini lebih menekankan
kebenaran rasional-logis dan juga cara kerja deduktif. Kedua, teori ini lebih menekankan kebenaran dan pengetahuan
apriori. Ini berarti pembuktian atau justifikasi sama artinya dengan validasi:
memperhatikan apakah kesimpulan yang mengandung kebenaran tadi memang diperoleh
secara sahih (valid) dari proposisi lain yang telah diterima sebagai benar.
Teori
pragmatis tentang kebenaran (the
pragmatic theory of truth)
Bagi kaum pragmatis, kebenaran
sama artinya dengan kegunaan. Ide, konsep, pernyataan, atau hipotesis yang
benar adalah ide yang berguna. Dengan kata lain, berhasil dan berguna adalah kriteria
utama untuk menentukan apakah suatu ide benar atau tidak. Kebenaran yang
ditekankan oleh kaum pragmatis ini adalah kebenaran yang menyangkut “pengetahuan bagaimana”. Suatu ide yang benar
adalah ide yang memungkinkan berhasil memperbaiki dan menciptakan sesuatu. Tolok
ukur kebenaran suatu ide bukanlah realitas statis, melainkan realitas tindakan.
Teori
performatif tentang kebenaran (the
performative theory of truth)
Menurut teori ini, suatu
pernyataan dianggap benar, kalau pernyataan itu menciptakan realitas.
Pernyataan yang benar bukanlah pernyataan yang mengungkapkan realitas, tetapi
justru dengan pernyataan itu tercipta suatu realitas sebagaima yang diungkapkan dalam pernyataan
itu. Contoh: “Dengan ini saya mengangkat kamu sebagi bupati Bantul.” Dengan
pernyataan itu, tercipta suatu realitas baru, realitas kamu sebagai bupati
Bantul.
Kebenaran ilmiah muncul dari hasil penelitian ilmiah[7]. Artinya
suatu kebenaran tidak mungkin muncul tanpa ada prosedur baku yang harus
dilaluinya. Prosedur baku yang harus dilalui itu adalah tahap-tahap untuk
memperoleh pengetahuan ilmiah, yang pada hakekatnya berupa teori, melalui
metodologi ilmiah yang telah baku sesuai dengan sifat dasar ilmu. Maksudnya
ialah bahwa setiap ilmu secara tegas menetapkan jenis objek yang ketat apakah
objek itu berupa hal yang konkrit atau abstrak.
Definisi Sosiologi
Untuk mengetahui apa itu sosiologi, maka
kita akan definisi sosiologi menurut para ahli.
Pitirim Sorokin Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh
timbal balik antara aneka macam gejala sosial (misalnya gejala ekonomi, gejala
keluarga, dan gejala moral), sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan
dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala non-sosial, dan
yang terakhir, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari ciri-ciri umum semua
jenis gejala-gejala sosial lain.
Max Weber
Sosiologi adalah ilmu yang berupaya
memahami tindakan-tindakan sosial.
Selo Sumardjan dan Soelaeman Soemardi Sosiologi adalah ilmu
kemasyarakatan yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial
termasuk perubahan sosial.
Paul B. Horton
Sosiologi adalah ilmu
yang memusatkan penelaahan pada kehidupan kelompok dan produk kehidupan
kelompok tersebut.
Soejono Sukamto
Sosiologi adalah ilmu
yang memusatkan perhatian pada segi-segi kemasyarakatan yang bersifat umum dan
berusaha untuk mendapatkan pola-pola umum kehidupan masyarakat.
Emile Durkheim
Sosiologi adalah suatu
ilmu yang mempelajari fakta-fakta sosial, yakni fakta yang mengandung cara bertindak,
berpikir, berperasaan yang berada di luar individu di mana fakta-fakta tersebut
memiliki kekuatan untuk mengendalikan individu.
Menurut kelompok sosiologi adalah ilmu yang
tidak sekedar mempelajari kehidupan masyarakan baik itu tindakan. pikiran maupun
perasaan, melainkan juga merupakan ilmu yang mendeskripsikan hal-hal yang
berlatarbelakang kehidupan sosial kemasyarakatan.
Kebenaran
Ilmiah dalam Sosiologi.
Secara terminologi sosiologi berasal
dari bahasa Yunani, yakni kata socius dan
logos. Socius berarti kawan,
berkawan, ataupun bermasyarakat. Sedangkan logos
berarti ilmu atau dapat juga berbicara tentang sesuatu. Secara harafiah
sosiologi dapat diartikan tentang ilmu dalam masyarakat. Tetapi untuk
memahami sosiologi tidaklah sesedarhana
itu, sosiologi sebagai disiplin ilmu yang mengkaji tentang masyarakat,
cakupannya sangat luas. Untuk itu sosiologi dapat di definisikan sebagai disiplin ilmu tentang interaksi
sosial, kelompok sosial, gejala-gejala sosial, organisasi sosial, struktur
sosial, proses sosial maupun perubahan sosial.[8]
Jika di atas telah dijelaskan tentang
kebenaran-kebenaran ilmiah dalam
filsafat, lalu bagaimana dengan kebenaran ilmiah dalam sosiologi? Untuk mencari kebenaran ilmiah dalam sosiologi
dibutuhkan paradigma. Menurut Thomas Khun paradigma adalah seperangkat
keyakinan yang memandu seseorang untuk melakukan suatu tindakan. Sedangkan
menurut Friedriches mencoba merumuskan pengertian paradigma secara lebih jelas,
menurutnya paradigm adalah pandangan yang mendasar dari ilmuwan tentang apa
yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh suatu cabang ilmu
pengetahuan[9].
Sejak abad pencerahan hingga era
globalosasi, terdapat empat paradigma ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh para ilmuwan. Empat
paradigma itu antara lain: 1). Positivisme, 2). Post-positivisme (Classical
Paradigm atau Conventionalism Paradigm), 3). Critical Theory (Realisme), dan
4).Consructivism[10].
Perbedaan dari keempat paradigm
tersebut dapat dilihat dari cara pandang masing-masing terhadap realitas yang
digunakan dan cara yang ditempuh untuk melakukan pengembangan pengetahuan, khususnya pada tiga aspek yang
ada didalamnya, yakni aspek-aspek ontologis, epistemology, dan metodologis.
Positivisme
Keyakinan dasar aliran ini berakar pada paham ontology realisme yang
menyatakan bahwa realitas berada (exist) dalam kenyataan dan berjalan sesuai
dengan hukum alam (natural laws). Penelitian berupaya mengungkap kebenaran
realitas yang ada dan bagaimana senyatanya realitas tersebut senyatanya
berjalan. Tokohnya adalah Aguste Comte
melalui karyanya The Course of Positive
Philosophy (1830-1842), Jhon Stuart
Mill melalui karyanya A System of Logic (1843) dan Email Durkheim melalui karyanya, Rules
of the Sociological Methods (1895), yang kemudian menjadi rujukan bagi periset
ilmu social yang yang beraliran positivism.
Menurut Durkheim, objek studi sosiologi adalah
fakta sosial. Fakta sosial yang dimaksudkan mencakup bahasa, sistem hukum, sistem
politik, pendidikan dan lain-lain. Sekalipun
fakta sosial berasal dari luar kesadaran individu namaun oleh periset dalam penelitian
positivisme, informasi kebenaran yang kebenaran dinyatakan kepada individu yang
dijadikan responden penelitian. Untuk mencapai kebenaran ini periset sebagai seorang
pencari kebenaran harus menanyakan lansung kepada objek yang diteliti, dan sang
objek dapat memberikan jawaban lansung kepada periset yang bersangkutan. Secara
metodologis, seorang periset dituntut
untuk menggunakan metodologi eksperimen empirik atau metode lain yang setara.
Hal itu dimaksudkan untuk menjamin agar temuan yang diperoleh betul-betul
objektif dalam menggambarkan keadaan yang sebenarnya.
Post-positivisme
Post-positivisme, kemunculan paradigm ini adalah
keinginan untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan positivisme yang memang hanya mengandalkan
kemampuan pengamatan lansung atas objek yang diteliti. Secara ontology, cara pandang aliran ini bersifat
critical realism, realitas sebagai hal
yang memang ada dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam, namun menurut aliran ini,
adalah mustahil bagi manusia (peneliti) untuk melihat realitas secara benar. Oleh
karena itu, secara metodologis pendekatan
eksperimental melalui observasi dipandang tidak mencukupi, tetapi harus dilengkapi
dengan metode triangulasi, yaitu penggunaan beragam metode, sumber data,
periset dan teori. Aliran ini juga memandang bahwa secara etimologi hubungan antara periset dan objek yang diteliti
tidak bisa dipisahkan. Aliran ini juga menambahkan pendapatnya bahwa suatu kebenaran
tidak mungkin bisa ditangkap apabila periset berada dibelakang layar, tanpa terlibat
dengan objeknya secara lansung. Aliran ini menegaskan arti penting dari hubungan
interaktif antara periset dan objek yang diteliti, sepanjang dalam hubungan tersebut
periset bisa bersifat netral.
Teori
Kritis
Secara ontologis, cara pandangan aliran ini
sama dengan pandangan post-positivisme, khususnya dalam menilai objek atau realitas
kritis, yang tidak dapat dilihat secara benar oleh pengamatan manusia. Pada tataran
epistemologis, aliran ini memandang hubungan
antara periset dan objek sebagai hal yang tidak dapat dipisahkan. Lantaran
berkeyakinan bahwa nilai-nilai yang dianut oleh periset ikut serta dalam
menentukan kebenaran suatu hal, maka aliran ini sangat menekankan konsep
subjektivitasnya dalam menemukan suatu ilmu pengetetahuan. Secara ontologis,
cara pandangan aliran ini sama dengan pandangan post-positivisme, khusunya dalam
menilai objek atau realitas kritis yang tidak dapat dilihat secara benar oleh pengamatan
manusia. Pada tataran metodologis, aliran
ini mengajukan metode dialog sebagai sarana transformasi bagi ditemukannya kebenaran
realitas yang hakiki.
Konstruktivisme
Konstruktivisme, paradigma ini hampir
merupakan antithesisme terhadap paham yang menempatkan pentingnya pengamatan dan objektivitas dalam menemukan suatu realitas
atas ilmu pengetahuan. Secara tegas paham ini menyatakan bahwa positivism dan
post-posotivisme keliru dalam mengungkapkan realitas dunia, dan harus ditinggalkan
dan digantikan oleh paham yang besifat konstruktif. Secara ontologis, aliran ini
menyatakan bahwa realitas itu ada dalam beragam bentuk konstruksi mental yang
didasarkan pada pengalaman sosial, bersifat lokal dan spesifik serta tergantung
pada pihak yang melakukannya. Karena itu, realitas yang diamati oleh sesorang tidak
bisa digeneralisasikan kepada semua orang sebagaimana yang biasa dilakukan di
kalangan positivism atau post-positivis. Atas dasar filosofi ini aliran ini menyatakan
bahwa hubungan epistemology antara pengamat dan objek merupakan satu kesatuan,
subjektif dan merupakan hasil perpaduan interaksi diantarakeduanya. Secara metodologis, aliran ini menerapkan
metode hermeneutika dan dialektika dalam proses mencapai kebenaran. Metode pertama
dilakukan melalui identifikasi kebenaran atau konstruksi pendapat orang per
orang, sedangkan metode kedua mencoba untuk membandingkan dan menyilangkan pendapat
orang per orang yang diperoleh oleh metode pertama.
Dari
paparan diatas, maka timbul pertanyaan: paradigma manakah yang dianggap paling
baik? Tidak satupun paradigma yang sanggup mengungguli yang lain, mengingat setiap
paradigma adalah cara pandang seseorang terhadap realitas yang tergantung pada keadaan
tertentu. Dalam ilmu eksata, paham positivism dan post-positivisme mungkin banyak
digunakan, sedangkan di ilmu sosial,
ciritcal theory atau konstruktivisme mendapat tempat yang lebih mapan.
Kesimpulan
Untuk memahami kebenaran ilmiah dalam pengetahuan
yang jelas dari satu objek formal atau
cara pandang tertentu dengan metode yang sesuai dan ditunjang oleh suatu sistem
yang relevan. Masing-masing teori kebenaran ini mempunyai sifat dasar
metodologisnya sendiri, dan satu teori kebenaran tidak bisa dipakai untuk
menilai kebenaran yang lain dengan metode yang sama. Karena itu muncul beragam
teori kebenaran, ada yang sepakat mengakui empat teori kebenaran (teori
kebenaran sebagai peresesuain, teori kebenaran sebagai keteguhan, teori
pragmatis tentang kebenarana, teori performatif tentang kebenaran).
Masing-masing teori kebenaran mempunyai kelebihan
dan kekurangan. Namun secara epistemologi maupun ontologis, tampaknya
teori-teori ini dapat mencari jalan keluar dari persoalan yang muncul dari
realitas itu sendiri. Hal ini disebabkan karena ilmu pengetahuan mempunyai aspek
etis.
Sosiologi dapat dikatakan mengandung
kebenaran ilmiah karena merupakan
ilmu yang bersifat empirik.
Kebenaran ilmiah dalam sosiologi disesuaikan dengan
waktu dan ruang (konteks).
Kebenaran ilmiah dalam
sosiologi disesuaikan (konteks).
Daftar Pustaka:
Bahm, Archie J. 1980 “What
is Science” dalam Axiology: The Science
of Values,New Mexico: Word Books Albuquerque.
Keraf, A. Sonny dan Dua, Mikhael, 2011, Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosifis, Yogyakarta: Kanisius.
Salim,
Agus, 2001, Teori dan Paradigma
Penelitian Sosial, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Supardan, Dadang, 2008, Pengantar
Ilmu Sosial, Sebuah Kajian Pendekatan Struktural, Jakarta: Bumi Aksara.
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM,2010, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Ilmu Pengetahuan.
Yogyakarta: Liberty.
----------, 2008, Kamus Bahasa
Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.
Supardan, H. Dadang. Pengantar
Ilmu Sosial Sebuah Kajian Pendekatan Struktural. Jakarta: Bumi Aksara,
2007.
[1] Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat
Bahasa. [2008], 172
[2] Tim Dosen
Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat
Ilmu Sebagai Dasar Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Liberty, 2010), 135.
[4] Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat
Bahasa. [2008], 544
[5]Archie J.
Bahm. “What is Science” dalam Axiology: The Science of Values (New
Mexico: Word Books Albuquerque, 1980), 14-49
[6] A. Sonny
Keraf dan Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan
Sebuah Tinjauan Filosifis, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), 65-74
[7] Tim Dosen
Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat
Ilmu Sebagai Dasar Ilmu Pengetahuan, 144
[8] Dadang
Supardan, Pengantar Ilmu Sosial, Sebuah
Kajian Pendekatan Struktural, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008),hlm
70
[9] Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2001), 63